02 September 2015

Pejabat yang tak dirindukan*

"Saya sudah biasa menyambut pejabat yang datang ke pesantren saya, Bu. Rasanya biasa-biasa saja." Ujar Pak Adi Amrullah saat kami dibuat sibuk dengan kedatangan mendadak orang nomor dua se-Jawa Barat siang itu (29/7). Raut wajahnya menyiratkan bahwa kedatangan sang Wagub itu tidak begitu ia rindukan.
Kedatangan Wagub itu memang terhitung cepat dari perkiraan. Sabtu malam cuitan Agus Akmaludin di Twitter dibalas Wagub. Senin, sudah datang beberapa perwakilan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung ke sekolah kami untuk meninjau. Selasa, datang lagi beberapa orang dari Dinas Provinsi Jawa Barat untuk melakukan survey. Hari Rabu, lelaki yang biasa dikenal sebagai "Bang Jack" itu datang juga untuk mengunjungi sekolah kami. Kedatangannya yang tanggap dan cepat itu membuat banyak pihak kaget. SMP Negeri 1  Cicalengka sebagai sekolah induk Sekolah Rakyat, kelurahan, dan kedusunan terkejut dengan kedatangan beliau. Semua disusun secara mendadak mulai dari acara, perjamuan, dan penyambutan. Di acara itu, saya bahkan tak melihat Pak Bupati. Demikian terkejutnya hingga saya ikut harap-harap cemas jika beliau kurang berkenan dengan sambutan dari sekolah kami. Di tengah hiruk-pikuk itulah, Pak Adi berkisah.
"Saya justru gemetar ketika pesantren kami didatangi Kyai, Syekh, dan orang-orang berilmu agama seperti itu." Lanjut guru muda yang sekarang sedang mondok di pesantren Alquran Al-Falah Cicalengka.
 "Setiap kali para pejabat itu datang ke pesantren, jalan di sekitar pesantren akan disulap menjadi bagus dan rapi. Tidak lagi ada yang bolong-bolong". Ia kemudian bercerita saat beberapa menteri datang ke pesantrennya membawa banyak rencana. Saya simak kisahnya itu dengan seksama. Ingatan saya sampai pada beberapa peristiwa serupa saat sebuah daerah didatangi pejabat pemerintahan. Daerah itu akan bersolek secantik-cantiknya. Dalam hal ini, saya kira tak jadi masalah sebab tak ada salahnya memuliakan tamu yang bertandang ke suatu daerah. Apalagi bila yang datang adalah tamu yang istimewa semacam pejabat. Namun mengenai hal itu, saya kembali terdiam saat Pak Adi melanjutkan kisahnya.
" Tapi sungguh, semuanya terasa biasa-biasa saja. " Pungkas guru PAI kami itu. Ya, memang, dalam hal ini patutnya mereka melihat keadaan yang sesungguhnya. Jalan yang bolong-bolong, macet, dan segala yang tak indah.

Saat Pak Adi berkisah demikian, saya jadi menduga-duga alasan lain terhadap kesan biasa-biasa saja yang diungkapkan Pak Adi. Barangkali karena kedatangan para elit itu selalu  disambut gegap gempita oleh beragam kepentingan. Semua orang yang menyambut mereka menjadi seperti pemakai topeng yang menyembunyikan raut wajah sesungguhnya di balik wajah palsu. Jika menyandingkan dengan kisah Pak Adi, saya menangkap betapa peristiwa menyambut seorang guru adalah peristiwa yang khidmat. Istilah "ngalap barokah" menyertai kedatangan itu. Tak lain, artinya adalah berburu ilmu, doa, dan kebaikan dari seorang guru. Bukan berburu amplop. Terkait hal ini, saya sangat setuju.
Lahirnya seorang  pejabat yang dirindukan rakyat karena keteladanannya dan bukan semata janji surganya sungguh sebuah impian besar. Meski rasanya hal itu masihlah jauh panggang dari api.

Lama menyimak kisah Pak Adi, tiba-tiba Pak Agus datang. "Pak, Bu, ke rumah Pak Kadus sekarang. Makan siang dulu sama Pak Wagub."

Kami bergeming.
Dokumentasi Pak Agus Akmaludin


*) Judul terinspirasi dari judul film yang sedang hits, "Surga yang Tak Dirindukan".

0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.