16 Desember 2019

TENTANG MENJADI GURU FAVORIT SISWA SMP DJUANTIKA

Siang itu, Pak Agus Akmaludin mengumumkan penghargaan bagi guru-guru di SMP Djuantika. Hasilnya murni dari penilaian siswa kelas 7, 8, dan 9. Ada dua kategori dalam penghargaan itu. Pertama, guru terbaik. Poin penilaiannya adalah kedisiplinan, penyampaian materi pelajaran yang baik, dan mata pelajaran yang disukai siswa. Kedua, guru terfavorit. Poin penilaiannya satu saja: guru yang disukai siswa. Saya kira, kategori pertama adalah kriteria untuk guru pelopor, unggul, dan profesional sementara kategori kedua adalah untuk guru pikawatireun. Sungguh mengejutkan karena saya diganjar guru favorit pilihan siswa. Apakah karena memang saya pikarunyaeun? Haha. 


Tak seperti Pak Rifal, peraih kategori guru terbaik, saya akui memang tak penuhi poin penilaian itu dengan sempurna. Saya mengakui tak cukup mampu memberikan seluruh perhatian pada sekolah. Terlebih saat memasuki masa perkuliahan, saya bahkan lebih banyak bolos karena harus "mendua" -bahkan tiga- dengan kampus Jenderal (dan Sultan. Wkwk). Urusan datang tepat waktu, jangan ditanya lagi. Jarang terjadi! Haha. Sudah lelah duluan karena sebelumnya harus kakaretaan. Ya, beruntung karena akhirnya bisa dijemput Byson Pak Rifal jadi bisa datang tepat, sih (Nuhun sa-Bandungeun, Pak! :D). Apalagi? Banyak! Banyak sekali hal yang membuat saya merasa kerdil dan makin merasa tak layak dengan penghargaan serupa itu. Maksud saya, hingga merasa benar-benar tak perlu ada nama saya di situ. Saya malu dengan semua kekurangan saya dalam mengajar anak-anak. Namun,  ternyata mereka pula yang memutuskan. :') 

===
Saya ingat suatu hari saat hendak mengajar kelas 7. Seorang siswa datang ke kantor dengan tergesa. Ia bilang, "Bu, anak-anak perempuan kelas tujuh nangis!". Mendengar itu saya kaget dan bertanya kenapa. Jawabnya, "Ada yang bilang Ibu gak akan ngajar di sini lagi". Saya telusuri mengapa sampai ada dugaan semacam itu. Rupanya, hal itu karena ada dua guru baru yang ikut bergabung dengan SMP Djuantika. Mereka berdua mengajar Bahasa Inggris, mata pelajaran yang saya ampu bertahun-tahun. Kebetulan, sudah beberapa pertemuan pula saya tidak masuk karena bentrok dengan jadwal UTS di kampus. Kenyataan itu membuat mereka berpikir bahwa saya tidak akan hadir selamanya. Saat masuk kelas, iseng saya katakan "Kan sama aja guru mana pun yang masuk". Mendengar itu rupanya mereka protes karena menurut mereka saya lebih sabar membimbing mereka di kelas. Akhirnya saya terangkan bahwa saya tidak akan pergi. Saya hanya bertukar jadwal mengajar. 

Setelah kelas usai, saya tarik napas panjang. Ragam kesadaran bertubrukan di kepala. Apa benar saya telah sesabar itu di kelas hingga saya layak mereka tangisi? Di sisi lain, saya merasa dirindukan padahal di sisi yang sama saya tak pernah sempurna menemani mereka. Saya merasa demikian diterima padahal di titik yang serupa saya belum mampu seutuhnya memahami mereka. Namun demikian, satu hal yang kemudian tumbuh dan menjadi kekuatan tersendiri: saya merasa berharga. 

Akhirnya saya paham bahwa terpilihnya saya di kategori kedua pun adalah karena alasan yang lebih emosional. Saya sadar bahwa saya tak pernah punya banyak hal yang bisa diberikan sebab kekurangan saya melampaui yang sebenarnya tampak. Namun demikian, semua akhirnya memang pantas dapat tempat. Kehadiran emosional itu semoga berdampak baik bagi mereka. 

Ah, saya jadi berkaca dan makin merasa malu. Bagaimana bisa saya berpaling sementara telah sedemikian mereka membuat saya merasa dicintai. Saya lantas  berdoa semoga Tuhan selalu memberkahi langkah saya dan memberi saya kekuatan sehingga masih bisa memberi kebaikan buat mereka. Semaksimal yang saya bisa. 

They accept you the way you are,  they respect your imperfection perfectly,  they love you as you always do. So, what is the most precious feeling in this world than knowing that you're loved. 
So loved. 

"I do love you all, Kiddos! 
Thank you" 

(Mereka menerimamu apa adanya, mereka menghargai ketidaksempurnaanmu dengan sempurna, mereka mencintaimu seperti yang selalu kau lakukan. Jadi, apa perasaan paling berharga di dunia ini selain mengetahui bahwa kau dicintai. 
Sangat dicintai.
"Saya sangat menyayangi kalian, anak-anak!
Terima kasih")

*OKE STOP. Mata saya banjir! :(

Read More

17 November 2019

Di Suatu November

Dan aku hanya bisa menawarkan pelukan bagi dalamnya dukamu. Sementara tangis telah lebih dulu menganak sungai dari sudut matamu. Lukamu, segala kenangan yang mengakar hingga pangkal jantung dan cinta yang tak akan tergantikan sesiapa, sempurna membiru pagi itu.
Di titik sepilu itu, aku bersedia ada saat kau begini jatuh, saat semua pergi ini tak pernah kembali, saat semua harap dibatasi mati, saat semua kesempatan menutup dirinya sendiri.

Waktu perlahan berganti seperti seharusnya. Barangkali juga semua duka yang sama-sama kita punya.

(Dipati Ukur, 2019)  


Read More

03 November 2019

MENURUNKAN EGO

"Neng, standar nilainya turunin. Minimal skor jadi 40."

Begitu kira-kira pesan dosen senior saya di WhatsApp kala saya membantu beliau memeriksa UTS kampusnya.

Saya mengalihkan pandang pada satu amplop yang tebal di meja. Amplop itu memuat sekitar lima kelas. Masing-masing kelas, kurang lebih, berisi 40 lembar jawaban mahasiswa. Ya, tinggal dikali saja jumlah total lembar jawaban yang harus saya periksa waktu itu. Banyak!
Kunci jawaban dan panduan penilaian sebenarnya sudah sempurna ada dalam genggaman. Sebagai asdos yang baik dan benar, saya jadi begitu teliti dan tegas dengan jawaban yang saya baca. Meleset sedikit dari kunci jawaban, poin rendah! No excuses pokok na mah. Titik. Saya yakin dosen senior saya tidak keberatan karena beliau juga tipikal orang yang idealis. Hehe.

Ternyata sesuatu terjadi siang itu. Beliau berkabar bahwa tadi baru saja dipanggil koordinator mata kuliah dan diingatkan tentang deadline. Entah apa lagi yang sebenarnya Pak Dos dan Pak Koor bincangkan, tapi selepas itu Pak Dos menghubungi saya dan meminta agar menurunkan standar penilaian. Barangkali ada peringatan juga dari Pak Koor tentang standar nilai. Ya, sebagai asdos yang baik hati dan tidak sombong, jagoan lagipula pintar (Gen Z, kamu gak akan hapal lirik lagu "Catatan Si Boy" ini, saya yakin -_-) saya pun manut.

Akhirnya berkas UTS kampus "Sultan Ciumbuleuit" selesai saya periksa dan kirimkan ke Pak Dos. Setelahnya, saya jadi berpikir. Apa sebenarnya yang kami lakukan? Apakah memang kami yang memasang ekspektasi terlalu tinggi tanpa melihat yang sebenarnya terjadi? Apa kami mematok standar ideal nan sempurna setinggi Kahyangan tanpa terlebih dahulu menganalisis banyak aspek dari mahasiswa? Saya tepatnya, berpikir bahwa yang saya hadapi adalah manusia dewasa yang sudah bisa berpikiran matang atas segala sesuatu, termasuk belajar. Hal itu membuat perlakuan saya pun berbeda dengan yang saya lakukan terhadap anak usia sekolah. Lantas, saya meminta mereka ada dalam standar belajar saya namun ternyata hal itu tidak sepenuhnya tepat. Begitu barangkali ketimpangan ini terjadi. Akibatnya, banyak ditemukan skor indah bernada doremifasol setiap kali ujian.

Apakah sebagai pengajar, ego kami (saya lagi tepatnya) begitu luhur hingga harapan antara pengajar dan kenyataan di kelas tak bertemu?

Saya jadi lanjut merenung dalam, apakah cara mengajar saya pun salah?

Mungkin dari sini saya harus sedikit menurunkan ego dan meningkatkan kualitas mengajar (?).

#catatanAsdos

Read More

17 Oktober 2019

TENGGELAM

Berbulan-bulan ini, kamu akhirnya memilih memenuhi jadwal keseharianmu dengan ragam kegiatan yang padat atau, tepatnya, sengaja kau buat padat. Lalu, kamu sendiri yang menikmati peluh itu. Kamu senang saat harus pergi pagi buta dan pulang larut malam, berdesakkan dalam kendaraan umum, dan berlari satu tempat ke tempat lain. Kamu membiarkan kata-kata bertebaran dan semua yang minta diselesaikan mengambil tempat di meja kerjamu, di kamarmu, dan di tiap sudut rumahmu sebab artinya hal-hal itu yang kini kau perbolehkan mengambil alih pikiranmu.

Kamu menikmati lelah yang hinggap di mata, tangan, kaki, dan semua sendimu sebab artinya tak ada lagi celah bagi air mata apalagi ingatan masa silam. Semua kau lakukan agar bisa menikmati akhir pekan dengan dirimu sendiri: tidur seharian seperti mayat hidup atau sekadar menikmati semua film Ghibli lagi.

Biasanya, kau menolak paham pada kenyataan bahwa terdapat manusia yang justru menikmati hidup dalam kesibukan, rutinitas yang menurutmu menjemukan, atau tumpukan pekerjaan yang sungguh gila. Kamu memicingkan mata pada orang-orang yang memilih jalan tak waras menjadi penggila kerja atau workaholic itu. Namun di titik ini akhirnya kamu percaya bahwa kesibukan yang sengaja diciptakan itu pun adalah pelarian dari jeratan duka. Atau, sebuah usaha keras menutup semua kemungkinan kembali terluka di kemudian hari. Atau, suatu upaya menenggelamkan diri biar perasaan pahit dalam dada turut karam dan tak lagi dikenali.
Atau, semuanya.

Upaya menghindar dari kesedihan? Ah, barangkali juga benar. Namun, kamu sadar bahwa hal itu kamu lakukan semata agar kau paham kekuatanmu sendiri. Agar kau lebih fokus berjalan pada kelebihanmu saja, pada hal-hal yang membuatmu bahagia meskipun harus membuat ragamu seperti lepas dari tulang-tulangnya. Sungguh, kamu hanya sedang memasang benteng agar semua keburukan tak semena-mena menghampirimu lagi.

Kamu sudah melakukannya dengan luar biasa!
Jangan lupa makan tepat, minum cukup, istirahat, juga olahraga. Tetap bertahan dalam hidup yang begini rawan pun perlu banyak tenaga.

Terima kasih sudah berjuang.

#ceritakansaja #staystrong

Read More

03 Oktober 2019

MERIANG

Stasiun Rancaekek 

Musim di bulan Oktober sedang tak bersahabat. Katamu, angin sepanjang perjalanan menuju Cimahi sedang buas dan senang membuatmu meriang. Ah, apa kubilang. Tubuhmu kini berontak. Barangkali gambaran bahwa hati dan pikiranmulah yang sebenernya bergejolak. 

Kamu lupa kalau semakin hari tenagamu makin terbagi. Sialnya, di tengah kenyataan itu kamu masih saja keras kepala. Tak bisa berpikir panjang dan mudah sekali tersulut api. 
Kamu kecil tapi ingin melakukan hal terlampau besar dan mustahil dilakukan seorang diri. Kamu ingin  berlari amat cepat padahal kamu masih butuh berjalan pelan. Kamu ingin mengambil banyak peran dalam sekali jangkauan padahal tanganmu terbatas hanya dua. Kamu sungguh menginginkan banyak hal yang sebenarnya tumbuh dari kegelisahan tak bisa seperti harapan orang sekitar. Begitu, bukan? 


Ah. Kamu sedang lelah bahkan dengan dirimu sendiri, Diri. Istirahatlah dulu. Tenangkan sejenak diri dan pikiranmu. Redakan demam di tubuhmu. Meriang di tubuhmu ibarat pelukan semesta biar kamu ingat bahwa kamu butuh rehat. 
Berdamailah sebentar dengan keletihanmu. Kamu tak bisa melulu melaju tanpa rehat terlebih dahulu. Jeda mutlak kau perlukan agar kau bisa lebih memahami dirimu sendiri. Biarkan yang lain bergegas bahkan terburu-buru. Kamu cuma perlu waktu untuk menguatkan langkah. Dan hal itu jelas tak pernah salah. Setelah kau usai dengan jedamu, kau bisa melangkah lebih tenteram dan bahagia. Begitu seharusnya. 


Hari akan semakin gelap. Menjelang akhir pekan, kau masih harus berjuang dengan dirimu sendiri. Jika luang, mampirlah ke warung membeli coklat favoritmu. Upayamu berjuang dengan diri sendiri, sesederhana apapun pun, perlu dapat penghargaan.


Istirahatlah raga, istirahatlah jiwa. Esok kamu mesti bahagia. 

#staystrong 
Read More

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.