"Neng, standar nilainya turunin. Minimal skor jadi 40."
Begitu kira-kira pesan dosen senior saya di WhatsApp kala saya membantu beliau memeriksa UTS kampusnya.
Saya mengalihkan pandang pada satu amplop yang tebal di meja. Amplop itu memuat sekitar lima kelas. Masing-masing kelas, kurang lebih, berisi 40 lembar jawaban mahasiswa. Ya, tinggal dikali saja jumlah total lembar jawaban yang harus saya periksa waktu itu. Banyak!
Kunci jawaban dan panduan penilaian sebenarnya sudah sempurna ada dalam genggaman. Sebagai asdos yang baik dan benar, saya jadi begitu teliti dan tegas dengan jawaban yang saya baca. Meleset sedikit dari kunci jawaban, poin rendah! No excuses pokok na mah. Titik. Saya yakin dosen senior saya tidak keberatan karena beliau juga tipikal orang yang idealis. Hehe.
Ternyata sesuatu terjadi siang itu. Beliau berkabar bahwa tadi baru saja dipanggil koordinator mata kuliah dan diingatkan tentang deadline. Entah apa lagi yang sebenarnya Pak Dos dan Pak Koor bincangkan, tapi selepas itu Pak Dos menghubungi saya dan meminta agar menurunkan standar penilaian. Barangkali ada peringatan juga dari Pak Koor tentang standar nilai. Ya, sebagai asdos yang baik hati dan tidak sombong, jagoan lagipula pintar (Gen Z, kamu gak akan hapal lirik lagu "Catatan Si Boy" ini, saya yakin -_-) saya pun manut.
Akhirnya berkas UTS kampus "Sultan Ciumbuleuit" selesai saya periksa dan kirimkan ke Pak Dos. Setelahnya, saya jadi berpikir. Apa sebenarnya yang kami lakukan? Apakah memang kami yang memasang ekspektasi terlalu tinggi tanpa melihat yang sebenarnya terjadi? Apa kami mematok standar ideal nan sempurna setinggi Kahyangan tanpa terlebih dahulu menganalisis banyak aspek dari mahasiswa? Saya tepatnya, berpikir bahwa yang saya hadapi adalah manusia dewasa yang sudah bisa berpikiran matang atas segala sesuatu, termasuk belajar. Hal itu membuat perlakuan saya pun berbeda dengan yang saya lakukan terhadap anak usia sekolah. Lantas, saya meminta mereka ada dalam standar belajar saya namun ternyata hal itu tidak sepenuhnya tepat. Begitu barangkali ketimpangan ini terjadi. Akibatnya, banyak ditemukan skor indah bernada doremifasol setiap kali ujian.
Apakah sebagai pengajar, ego kami (saya lagi tepatnya) begitu luhur hingga harapan antara pengajar dan kenyataan di kelas tak bertemu?
Saya jadi lanjut merenung dalam, apakah cara mengajar saya pun salah?
Mungkin dari sini saya harus sedikit menurunkan ego dan meningkatkan kualitas mengajar (?).
#catatanAsdos
0 komentar:
Posting Komentar