Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah Pandawa.
Entah dari garis keturunan mana darah itu kuwarisi, yang jelas aku mewarisi kecerdasan
Yudhistira, kegagahan Arjuna, ketangguhan Bima, dan kecerdikan Nakula-Sadewa.
Terdengar bagus, namun nyatanya tidak begitu. Orang-orang bilang aku ada dalam
bahaya sebab Batara Kala kini mencari keturunan Pandawa. Dendam Kala belum
terbalas. Ia tak lagi berselera menyantap manusia biasa. Nafsu raksasanya kini
tertuju satu. Aku!
Aku tak mau mati begitu saja di tangan sang
raksasa, oleh sebab itu aku ingin melawan Kala dengan tanganku sendiri.
Narayan
namaku. Dan aku mewarisi darah Pandawa. Namun entah mengapa, aku tak mewarisi
benda pusaka dari mereka. Aku hanya punya kaki yang pandai melarikan diri.
Kedua kakiku gesit dan liar. Itu saja.
"Aku akan menghadapi
raksasa itu dengan tanganku," ucapku mantap pada sesepuh-sesepuh.
"Kau punya apa? Tak
ada, Anak muda," balasnya.
"Kau punya senjata?
Punya mantra?" Ia menatapku lekat.
"Kau sakti?" Lanjutnya.
Aku terdiam. Mereka menghujaniku dengan pertanyaan bertubi. Mataku nanar.
"Kau akan jadi santapan nikmat bagi
Batara Kala jika tanpa ruwatan. Kami hanya ingin menyelamatkan hidupmu,"
orang tua itu mencoba meyakinkanku.
“Kita akan meyelamatkanmu dengan ruwatan,”
tutur orang tua itu lagi.
Aku bersikukuh untuk menolak sebab aku ingin
menghadapi raksasa itu seorang diri. Lagipula persiapan untuk mengadakan
ruwatan sama seperti akan mengadakan upacara pernikahan. Gila!
Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah
Pandawa. Mungkin itulah sebabnya sebelum Kala datang mencariku, para Pandawa
tiba-tiba turun ke bumi dan menawarkan bermacam senjata untuk membantuku.
Sayang sekali, aku telah kukuh dengan tekadku. Melumat kala dengan tanganku.
Para Pandawa kembali ke langit yang entah di mana itu sambil meninggalkan
sesungging senyum padaku.
Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah
Pandawa. Maka, pada malam purnama ini sang raksasa turun ke bumi. Mencariku.
Sudah lama aku terjaga, berdiri di atas bukit. Angin malam perlahan berhembus
membalut kulitku. Dedaun di pepohonan yang semula melambai, kurasakan makin
keras, makin kencang dan lebih tepat dikatakan mengamuk. Ya, sang Kala datang!
Aku waspada. Ia bisa datang dari sudut mana
pun yang ia suka. Jika aku lengah, aku akan jadi bulan-bulanannya. Suara tawa
membahana di angkasa, menggelegar diiringi halilintar. Kala sudah menjejak
bumi, namun wujudnya masih bersembunyi dari pengamatanku. Tiba-tiba, sebuah
dorongan keras menghantamku dari belakang. Aku terpelanting, terjun bebas dari
puncak bukit.
"Tertangkap kau!!" Makhluk itu menangkapku
dan membuka mulutnya lebar-lebar seakan hendak memasukkan tubuhku ke dalamnya.
"Mau bermain-main dulu sebelum aku
menyantapmu?" raksasa itu mencoba menggodaku. Aku takmau kalah, aku tinju bola
matanya. Aku lepas dari cengkeramannya lalu berlari menghindari Kala.
"Terkutuk!" ia geram.
Sesekali aku menengok ke belakang untuk
memastikan ia tak bisa mengejarku. Aku pun menengadah ke langit khawatir ia
tiba-tiba berada di atas kepalaku. Aku berlari sekencang angin. Kala masih
gigih mengejarku. Entah telah berapa jauh jarak pengejaran ini.
Kala tampak tidak lagi bernafsu untuk
menyantapku, tetapi lebih bernafsu membunuhku. Lariku lesat serupa Jatayu, aku
berhasil membiarkan Kala kebingungan mencari cara menngkapku. Langit mencekam,
Kala yang makin murka mengejarku itu melontarkan bola api dan segenap
senjatanya ke arahku.
Aku harus memutar akal untuk segera menyudahi
pertempuran ini.
"Kejar aku!"
aku menantangnya. Aku berlari sekuatnya, menerabas malam yang kian tampak
cekamnya. Akhirnya, aku tiba di sebuah tempat asing. Ingatanku tertuju pada
sebuah tempat larangan yang dijaga beragam binatang buas. Sebuah bangunan yang
berdiri di tengah hutan itu terkenal begitu berbahaya dan menyeramkan. Bentuk
bangunan itu mirip tempurung kura-kura. Akan kuseret Kala ke sana.
"Makhluk rakus! Masih sanggup mengejarku ?" seruku lantang
memusatkan perhatian Kala agar masuk ke bangunan itu.
Aku menerabas hutan yang
membentengi bangunan itu. Binatang-binatang buas itu tak mampu menangkapku. Di belakangku,
mata Kala nyalang membayangiku.
Aku sampai di depan bangunan mengerikan itu, pun Kala.
Aku memperlambat laju lariku untuk memastikan Kala masuk ke jebakannku. Di
dalam bangunan itu tercium bau pekat darah dan dupa. Di dalamnya terdapat
manusia-manusia bermata hitam. Pakaian mereka berhias emas dan berlian, mereka
tampak seperti patih, hulubalang, dan
raja. Mereka tengah duduk terkantuk dan meracau. Di tangan mereka segepok uang,
daging manusia, dan surat-surat. Mereka memakan semua itu ? Mengerikan
sekali.
Jika aku tak lekas keluar
dari tempat ini, aku bisa dimakan manusia-manusia itu. Maka aku bergegas. Lalu
di belakangku Kala tertinggal jauh. Manusia-manusia itu bangkit dengan wajah
lapar luar biasa saat Kala tiba di
dalam. Terjebak di sana. Mereka segera meninggalkan segepok uang yang tengah
mereka santap lalu mengerumuni Kala dan memakan tubuh raksasa rakus itu
perlahan. Kala mengerang kesakitan ketika gigi-gigi manusia pemakan segala itu
menancap di daging Kala. Manusia-manusia itu tak peduli dengan erangan Kala,
mereka masih tekun melumat satu demi satu tubuh sang raksasa.
Sungguh tak dinyana, manusia-manusia yang
berada di dalam bangunan mirip tempurung kura-kura itu lalu mengusap perut
mereka yang makin buncit pertanda kekenyangan. Manusia-manusia itu telah melahap
Kala tanpa sisa. Raksasa itu telah kalah rakus dengan begitu telak dari mereka. Ternyata ada jenis manusia yang
lebih rakus dari raksasa. Setibanya di luar, aku muntah sejadinya. Mual perutku
melihat Kala dilahap manusia. Aku dibalut ngeri dan terkejut melihat yang
terjadi tadi.
Narayan namaku. Namun kini aku tak peduli dari
darah mana aku terlahir, Pandawa atau bukan. Nyatanya, aku mampu melenyapkan
Kala dengan tanganku sendiri bukan dengan bantuan darah Pandawa atau senjata
warisan mereka. Pagi sebentar lagi menjelang. Aku bergegas pulang sebab urusanku sudah selesai. Setibanya di gerbang
desa, rakyat dan para sesepuh menyambutku. Dengan riuh mereka mengelu-elukan
namaku. Kabar kepergianku untuk melawan Kala rupanya telah tersebar
kemana-mana. Kini, dari wajah mereka terlihat rasa bangga dan bahagia. Perlahan
senyumku mengembang. Kumaknai sorak-sorai itu sebagai penghargaan atas
dahsyatnya daya yang kukuras dalam perlawananku menumpas Kala. Namun tidak. Mereka
menyerukan namaku lagi dan kali ini kurasa menyakitkan.
“Hidup Narayan yang mengalahkan Kala dengan
berkat darah Pandawa! Hidup Narayan, pewaris Pandawa!”
Ah!!
(Bandung, 2012)
1 komentar:
bagus. satir dan ironi yang dibalut cerita perwayangan...
Posting Komentar