03 Februari 2012

Menjebak Kala




Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah Pandawa. Entah dari garis keturunan mana darah itu kuwarisi, yang jelas aku mewarisi kecerdasan Yudhistira, kegagahan Arjuna, ketangguhan Bima, dan kecerdikan Nakula-Sadewa. Terdengar bagus, namun nyatanya tidak begitu. Orang-orang bilang aku ada dalam bahaya sebab Batara Kala kini mencari keturunan Pandawa. Dendam Kala belum terbalas. Ia tak lagi berselera menyantap manusia biasa. Nafsu raksasanya kini tertuju satu. Aku!
Aku tak mau mati begitu saja di tangan sang raksasa, oleh sebab itu aku ingin melawan Kala dengan tanganku sendiri.


            Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah Pandawa. Namun entah mengapa, aku tak mewarisi benda pusaka dari mereka. Aku hanya punya kaki yang pandai melarikan diri. Kedua kakiku gesit dan liar. Itu saja.
"Aku akan menghadapi raksasa itu dengan tanganku," ucapku mantap pada sesepuh-sesepuh.
"Kau punya apa? Tak ada, Anak  muda," balasnya.
"Kau punya senjata? Punya mantra?" Ia menatapku lekat.
"Kau sakti?" Lanjutnya. Aku terdiam. Mereka menghujaniku dengan pertanyaan bertubi. Mataku nanar.
"Kau akan jadi santapan nikmat bagi Batara Kala jika tanpa ruwatan. Kami hanya ingin menyelamatkan hidupmu," orang tua itu mencoba meyakinkanku.
“Kita akan meyelamatkanmu dengan ruwatan,” tutur orang tua itu lagi.
Aku bersikukuh untuk menolak sebab aku ingin menghadapi raksasa itu seorang diri. Lagipula persiapan untuk mengadakan ruwatan sama seperti akan mengadakan upacara pernikahan. Gila!
Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah Pandawa. Mungkin itulah sebabnya sebelum Kala datang mencariku, para Pandawa tiba-tiba turun ke bumi dan menawarkan bermacam senjata untuk membantuku. Sayang sekali, aku telah kukuh dengan tekadku. Melumat kala dengan tanganku. Para Pandawa kembali ke langit yang entah di mana itu sambil meninggalkan sesungging senyum padaku.
Narayan namaku. Dan aku mewarisi darah Pandawa. Maka, pada malam purnama ini sang raksasa turun ke bumi. Mencariku. Sudah lama aku terjaga, berdiri di atas bukit. Angin malam perlahan berhembus membalut kulitku. Dedaun di pepohonan yang semula melambai, kurasakan makin keras, makin kencang dan lebih tepat dikatakan mengamuk. Ya, sang Kala datang!
Aku waspada. Ia bisa datang dari sudut mana pun yang ia suka. Jika aku lengah, aku akan jadi bulan-bulanannya. Suara tawa membahana di angkasa, menggelegar diiringi halilintar. Kala sudah menjejak bumi, namun wujudnya masih bersembunyi dari pengamatanku. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras menghantamku dari belakang. Aku terpelanting, terjun bebas dari puncak bukit.
"Tertangkap kau!!" Makhluk itu menangkapku dan membuka mulutnya lebar-lebar seakan hendak memasukkan tubuhku ke dalamnya.
"Mau bermain-main dulu sebelum aku menyantapmu?" raksasa itu mencoba menggodaku. Aku takmau kalah, aku tinju bola matanya. Aku lepas dari cengkeramannya lalu berlari menghindari Kala.
"Terkutuk!" ia geram.
Sesekali aku menengok ke belakang untuk memastikan ia tak bisa mengejarku. Aku pun menengadah ke langit khawatir ia tiba-tiba berada di atas kepalaku. Aku berlari sekencang angin. Kala masih gigih mengejarku. Entah telah berapa jauh jarak pengejaran ini.
Kala tampak tidak lagi bernafsu untuk menyantapku, tetapi lebih bernafsu membunuhku. Lariku lesat serupa Jatayu, aku berhasil membiarkan Kala kebingungan mencari cara menngkapku. Langit mencekam, Kala yang makin murka mengejarku itu melontarkan bola api dan segenap senjatanya ke arahku.
Aku harus memutar akal untuk segera menyudahi pertempuran ini.
"Kejar aku!" aku menantangnya. Aku berlari sekuatnya, menerabas malam yang kian tampak cekamnya. Akhirnya, aku tiba di sebuah tempat asing. Ingatanku tertuju pada sebuah tempat larangan yang dijaga beragam binatang buas. Sebuah bangunan yang berdiri di tengah hutan itu terkenal begitu berbahaya dan menyeramkan. Bentuk bangunan itu mirip tempurung kura-kura. Akan kuseret Kala ke sana.
"Makhluk rakus! Masih sanggup mengejarku ?" seruku lantang memusatkan perhatian Kala agar masuk ke bangunan itu.
Aku menerabas hutan yang membentengi bangunan itu. Binatang-binatang buas itu tak mampu menangkapku. Di belakangku, mata Kala nyalang membayangiku.
            Aku sampai di depan bangunan mengerikan itu, pun Kala. Aku memperlambat laju lariku untuk memastikan Kala masuk ke jebakannku. Di dalam bangunan itu tercium bau pekat darah dan dupa. Di dalamnya terdapat manusia-manusia bermata hitam. Pakaian mereka berhias emas dan berlian, mereka tampak  seperti patih, hulubalang, dan raja. Mereka tengah duduk terkantuk dan meracau. Di tangan mereka segepok uang, daging manusia, dan surat-surat. Mereka memakan semua itu ? Mengerikan sekali.
Jika aku tak lekas keluar dari tempat ini, aku bisa dimakan manusia-manusia itu. Maka aku bergegas. Lalu di belakangku Kala tertinggal jauh. Manusia-manusia itu bangkit dengan wajah lapar luar  biasa saat Kala tiba di dalam. Terjebak di sana. Mereka segera meninggalkan segepok uang yang tengah mereka santap lalu mengerumuni Kala dan memakan tubuh raksasa rakus itu perlahan. Kala mengerang kesakitan ketika gigi-gigi manusia pemakan segala itu menancap di daging Kala. Manusia-manusia itu tak peduli dengan erangan Kala, mereka masih tekun melumat satu demi satu tubuh sang raksasa.
Sungguh tak dinyana, manusia-manusia yang berada di dalam bangunan mirip tempurung kura-kura itu lalu mengusap perut mereka yang makin buncit pertanda kekenyangan. Manusia-manusia itu telah melahap Kala tanpa sisa. Raksasa itu telah kalah rakus dengan begitu telak  dari mereka. Ternyata ada jenis manusia yang lebih rakus dari raksasa. Setibanya di luar, aku muntah sejadinya. Mual perutku melihat Kala dilahap manusia. Aku dibalut ngeri dan terkejut melihat yang terjadi tadi.
Narayan namaku. Namun kini aku tak peduli dari darah mana aku terlahir, Pandawa atau bukan. Nyatanya, aku mampu melenyapkan Kala dengan tanganku sendiri bukan dengan bantuan darah Pandawa atau senjata warisan mereka. Pagi sebentar lagi menjelang. Aku bergegas pulang sebab  urusanku sudah selesai. Setibanya di gerbang desa, rakyat dan para sesepuh menyambutku. Dengan riuh mereka mengelu-elukan namaku. Kabar kepergianku untuk melawan Kala rupanya telah tersebar kemana-mana. Kini, dari wajah mereka terlihat rasa bangga dan bahagia. Perlahan senyumku mengembang. Kumaknai sorak-sorai itu sebagai penghargaan atas dahsyatnya daya yang kukuras dalam perlawananku menumpas Kala. Namun tidak. Mereka menyerukan namaku lagi dan kali ini kurasa menyakitkan.
“Hidup Narayan yang mengalahkan Kala dengan berkat darah Pandawa! Hidup Narayan, pewaris Pandawa!”

Ah!!




(Bandung, 2012)

1 komentar:

DAYEUH mengatakan...

bagus. satir dan ironi yang dibalut cerita perwayangan...

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.