Jakarta,
Kompas - Kesenimanan bukan sekadar tugas menyatakan keyakinan dan pikiran
pribadi penulis dalam beragam bentuk karyanya.
Di
dalamnya juga ada tugas sosial yang berupaya untuk membela manusia sesuai
dengan realitas sosial yang ada. Hal ini yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer
dalam karya-karyanya yang diminati banyak kalangan.
Pramoedya
dengan konsisten menggambarkan perjuangan untuk melawan kekuasaan kolonialisme
dan feodalisme yang menjadi penyebab ketertindasan ekonomi, sosial, politik,
dan kemanusiaan.
Realitas
sosial bertema kekuasaan feodalisme dan kolonialisme yang dalam bentuk lain
juga masih relevan sampai saat ini bukan saja dinyatakan secara gamblang lewat
karakter tokoh- tokohnya, tetapi juga mencoba mencari solusi.
Penelaahan
terhadap karya- karya Pram diungkap dalam diskusi "Perempuan dalam Roman
Karya Pramoedya Ananta Toer" di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, Jumat
(16/2). Kegiatan ini merupakan rangkaian acara yang dilakukan The Nyai
Ontosoroh Project yang akan mempergelarkan lakon Nyai Ontosoroh, tokoh
roman Bumi Manusia, Pramoedya,
tanggal 21-23 April di TIM Jakarta. Pergelaran nanti merupakan hasil kolaborasi
sejumlah organisasi perempuan di Tanah Air dan pernah pentas di beberapa daerah
sejak tahun lalu.
Eka
Kurniawan, penulis yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, dalam
karya-karyanya, Pram memperlihatkan hubungan karakter antartokoh dengan
menempatkan pada realitas dengan dua tema besar, yakni feodalisme dan
kolonialisme.
Jika ada
tokoh perempuan dalam karyanya, Pram akan menempatkan tokoh tersebut dalam
realitas feodalisme atau kolonialisme.
"Kalau
dia membicarakan keberpihakan tentang perempuan di zaman feodalisme, ya beda
dengan kolonialisme," katanya.
Sedangkan
Rieke Dyah Pitaloka, artis/penulis puisi, mengatakan, karya sastra adalah
mimesi, meniru realitas masyarakat. Pram juga memperlihatkan problematika dalam
realitas sosial feodalisme dan kolonialisme tanpa menggurui dan mencari solusi.
"Tema itu bisa dikatakan masih relevan hingga kini dalam bentuk yang
lain," kata Rieke.
Mengaitkan
keberpihakan Pram dengan perempuan dalam karya-karyanya, kata Rieke, sering
terlihat hubungan antara jender dan kekuasaan. Dalam sosok Nyai Ontosoroh
terlihat bahwa perempuan dilemahkan oleh konstruksi sosial yang ada.
Sedangkan
Dita Indah Sari, perempuan aktivis politik, mengatakan, membaca karya-karya
Pram akan terlihat kritik dan kemarahan Pram terhadap kolonialisme dan
feodalisme yang menjadi biang keladi ketertindasan ekonomi, politik,
kebudayaan, dan kemanusiaan.
Perjuangan
melawan ketertindasan melalui tokoh-tokohnya itu memang jarang menang.
"Tetapi,
Pram seakan ingin mengatakan bagaimana proses melawan itu yang penting meskipun
tidak menang," ujar Dita.
Ia juga
melihat gambaran sosok perempuan yang ditampilkan Pramoedya tidak sekadar
menjadi penghias supaya banyak karakter dalam ceritanya.
Pramoedya
juga menempatkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki pendapat sendiri dan
mengapresiasi pikiran-pikiran perempuan. (ELN)
* Sumber: Kompas, Senin, 19 Februari 2007
arsip dari sini
0 komentar:
Posting Komentar