Tulisan
ini merupakan cuplikan dari artikel yang berjudul sama.
: Maman S. Mahayana
Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau
wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas
mengasumsikan adanya sejumlah garis pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan
mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konsep
politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan wilayah,
lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu, diandaikan pula
seperti berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau representasi
kekuasaan lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa juga dalam
posisi yang saling mengancam.
Lokalitas dalam sastra
bukanlah sekadar ruang (space), locus, tempat (place) atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan
dengan wilayah lain yang secara fisikal dapat diukur, tetapi mesti dimaknai
dalam ranah budaya. Secara struktural, lokalitas dalam sastra kerap dimaknai
sebagai wilayah, tempat, kondisi, atau situasi dalam teks yang menggambarkan
para pelaku memainkan perannya. Lokalitas seperti mengalami pereduksian menjadi
sekadar latar (setting) dalam teks yang mewartakan tempat, situasi, suasana,
atau gambaran tentang masyarakat budaya.
Lokalitas dalam sastra
(teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa
pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di
belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah
dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret
sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi
tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan
nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –menyitir
pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti
bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat
dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di
sinilah imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak
terhindarkan, makna teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan
memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa
kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.
Dalam banyak pandangan
pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya merupakan
bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud
begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra
Indonesia dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang
pembaca. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari
situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba lahir dan mengada. Akibatnya, sastra
Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami berbagai masalah
sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang
melatardepaninya. Oleh karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut
dari akar budaya dan problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.
Pencerabutan sastra
Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan
yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern. Demikian
juga hubungan sastra daerah dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk
budaya yang berada dalam dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan
sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling mengenal, tidak saling
mempengaruhi.
Secara temporal, lokalitas
dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa tertentu.
Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya, menyebut Sumatera—Andalas
mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai
titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ
bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah
Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah,
tanah airku/Sumatera namanya tumpah darahku//
Sumatera sebagai lokalitas
budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga kemudian disadari
bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam
konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang
tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada
Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia, Tumpah
darahku” menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi:
wilayah, bangsa, dan bahasa.
Demikianlah, pemaknaan
lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya pada teks, hanya pada makna
tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna lain yang tidak hanya
menuntut pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan teks, melainkan juga
menuntut pembaca memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.
Lokalitas dalam sejumlah
besar novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka memperlihatkan terjadinya
perang ideologi. Di satu pihak, Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial
mengemban tugas suci kolonialisme dengan menerapkan sejumlah syarat
dan aturan main, dan di pihak lain, berdiri para pengarang Indonesia yang
bagaimanapun juga menyadari tugas suci nasionalisme. Sebagai contoh
kasus, Sitti
Nurbaya dan Salah Asuhan, misalnya, seperti merepresentasikan perang ideologi
itu.
Pertama, lokalitas
Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh ideologi
yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela:
ninik-mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka,
Datuk Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat
legitimasi: membela ninik-mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk
Meringgih tampil dalam dua kutub yang saling berlawanan:
tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik,
serakah, dan brengsek yang menunjukkan segala sisi negatif bagi kemanusiaan.
Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai
sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan
pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat legitimasi tindakan patriotisme sang
Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.
Kedua, lokalitas Jakarta
(Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh ideologis yang harus
diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif modernisme
melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat
kekuasaan kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif,
menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.
Bahwa Datuk Meringgih dan
Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang menggiring pembaca
melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada tradisionalisme
Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang
tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah
kelahiran justru untuk membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian
Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan, itu juga bentuk kompromi dengan syarat
dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.
Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang ideologi
yang semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi—Corrie adalah simbolisasi
dua kutub ideologi. Minangkabau—Rafiah adalah dunia adat yang dalam hal-hal
tertentu bermakna negatif. Ia hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan,
dan kebodohannya, meski pada akhirnya tampil sebagai korban dan sekaligus juga
pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang dalam beberapa hal, justru
berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat) menjadi ukuran. Maka,
Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak
untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia membuang kultur
leluhur dan hidup di kota yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di
tanah kelahirannya dan mati sebagai pecundang.
Sejak Balai Pustaka
berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas
Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik
tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe
tentang Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas
dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan ciri-ciri umum
yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional, komunal, dan
karikaturis. Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang
lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi
dengan berbagai teknologinya.
Lokalitas dalam sastra
pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks sekadar bertugas
memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna yang mendekam dan
bersembunyi di luar teks. Ketika makna itu diterjemahkan pembaca, seketika itu
pula simpul-simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan saklar imajinasi
pembaca bergentayangan memasuki medan tafsir dan mengungkap kekayaan dan
kompleksitas sosio-budaya yang melingkari, membentuk, mempengaruhi, dan
menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan bersangkutan. Dengan demikian,
lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif pembaca yang titik
berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.
Perhatikan teks berikut
ini:
Aston kelihatan kaget. Ia
melangkah menerobos kesibukan … Orang-orang mengikutinya…. Sebuah komidi puter
dengan ributnya memanggil anak-anak kampung dengan lagu-lagu dangdut. Seorang
pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk berteriak-teriak mengatasi suara
mesin parutan kelapa, menarik perhatian ibu-ibu yang mondar-mandir mencari
bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa mengangkut es, ribut mengklakson
untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang becak yang tak mau minggir kalau
tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari arah yang lain, masuk mobil
penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang menampung dua arus kendaraan … itu
agak kalang kabut, sebagaimana biasanya. Sepasang suami—istri muda dengan
tenang mendorong kereta bayi, anaknya yang baru berusia beberapa bulan
menggeliat-geliat. Di pinggang bapak muda itu ada walkman. Di atas atap dua buah rumah, terlihat beberapa anak
mengayun-ayunkan burung merpati, memangil merpati yang baru saja diterbangkan.
Dan sebuah kapal terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang mengacuhkan.
(Putu Wijaya, Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 10—11).
Bagaimana kita
menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika kita
mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita
menyala seketika dan kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di
luar teks? Tidak dapat lain, pintu masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan
teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain, karena pembaca juga mempunyai
persediaan referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman dan pengalamannya
sendiri. Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.
Perhatikan juga puisi
Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
LUKA
ha ha
Bagaimana kita menemukan
lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul maknanya tidak kita
temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan lokalitas dalam
sastra tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama pembaca
adalah menelusuri, melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan
pelacakan itu memang pada akhirnya bermuara pada latar belakang sosio-kultural
yang melingkari diri pengarang. Cantelan teks dengan konteks menjadi niscaya
ketika kita hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas menjadi ruang
sosio-kultural yang harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode
bahasa, kode sastra, kode budaya.
Salah satu problem besar
pemahaman sastra Indonesia –sebagaimana yang tampak dalam pengajaran sastra
Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah besar skripsi atau
tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan menemukan cantelan
teks dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu
banyak problem itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan politik sekarang
yang memberi ruang pemerintah daerah mengurus dan mengembangkan dirinya
(otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan bahwa teks sudah menyediakan
segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna tekstual, mesti dimaknai
sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan perjalanannya
sampai entah ke mana.
Demikianlah, lokalitas
dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang mempunyai
kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang
tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab
pada ketersesatan.
sumber utama dari sini
Sumber tautan
1 komentar:
Puisi Puteri imperialism | Angin memecut disimpang jalan | Seorang burjuis berdiri sendirian. | Semalam di suatu kampung | Bagai kabut mengambangdalam caya purnama | Kabut-kabut hari menimpa senja. | Sahabatku, saudara, manusia yang lesu | Nasehati daku sampai saat ajalku! | Apa dicari dalam yang baru? | Lagu hati yang tersinggung | Algojo kemerdekaan, orang ulung, dan kemegahan | Puisi ada damai didalam badai. | Puisi Sang Nabi | Puisi Gairah hidup yang mati | Puisi Kepada penyair | Puisi Gerhana matahari | Puisi Cinta Tidak Lucu | Puisi Internet Telkom Lambat | Puisi Ucapan Selamat Tahun Baru 2013 | Puisi Jatuh Cintakah Aku Padamu | Puisi Cinta Kau Aku Dan Masa Lalu | Puisi Kenangan Indah Tak Terlupakan | Puisi Rayuan Gombal Maut | Puisi Hati Galau Sendiri | Puisi Anak Jalanan
Posting Komentar