Tetiba segala rusuh
seakan menjauh
ibarat televisi yang diputar tanpa suara.
Ibarat dunia yang dilewati si tuli.
Suaramu jadi satu-satunya yang gaung
kala itu.
Ia tak menghentak gendang telingaku, memang.
kenyataan yang kau
seret di baliknya buatku purna
tetaskan air mata,
begitu.
Baiklah, aku tak
akan hirau pada segala rupa cerita
yang sering
kau ujar di beranda. Lagi-lagi nyeri dan ia menyesak diam-diam.
Lalu jika sekali
saja tak coba kupedulikan,
akankah tetiba kau
jadi sesuatu yang terlupakan?
Rasanya tak.
Setidaknya kuingat
sebagai hal yang menyakitkan.
Lebih pahit dari
kopi yang pagi ini kau tawarkan.
0 komentar:
Posting Komentar