Ketika mendengar
"Warung Narasi", terlintas padanan lain yang terdengar sama
"Warung Nasi" (tanpa sisipan -ar di antaranya). Sebuah tempat makan
yang lazim ditemui di mana pun. Tempat yang menjadi sangat pas didatangi oleh
manusia Indonesia yang kelaparan di saat-saat tertentu. Tentu, karena lazimnya
orang Indonesia makan nasi. Ternyata ini bukan sembarang warung, apalagi warung
yang menawarkan menu nasi dan rekanannya. Alih-alih menawarkan nasi, sebuah
"kios" di kebun seni, jl.Tamansari no 14 Bandung ini menawarkan aneka
menu pemikiran. Saya katakan demikian sebab yang ada di tempat itu adalah
kajian mengenai sastra dan kebudayaan. Bahan bakar yang lezat untuk pemikiran
kritis dan kreatif.
Dari luar, kios ini
tampak mentereng dengan warna merah muda sebagai warna dominan. Papan nama
"warung Narasi" yang terpampang di atas kios membuat kios ini mudah
dicari dan dikenali. Di depan kios, beberapa kursi berderet seakan mengawal di
pintu kios. Kadang, kursi tersebut dihuni oleh kuncen kios, Bung Lutfi Mardiansyah. Saat masuk ke dalam, saya disambut rak buku besar berisi buku-buku
semiotik, sastra, dan budaya. Suasana
yang hangat untuk memulai diskusi.
Karena belum sempat ambil foto lokasi, saya cari foto lokasi Warung Narasi di media sosial. Sumber foto ini berasal dari sini :) |
Saya pikir, siapapun
yang tengah "kelaparan" ide segar bisa mampir ke tempat ini setiap
minggu kedua dan keempat di setiap bulan. Pertemuan perdua minggu tersebut
menawarkan pembahasaan terkait sastra dan kebudayaan. Pertemuan yang dinamai
Maklumat Jumat berlangsung setiap pukul 15.00-17.00 WIB. Pada pertemuan pertama
(16/5), topik yang dibahas adalah "Ideologi dalam Puisi" oleh Pak Acep Iwan Saidi. Pertemuan kedua (30/5) membahas "Kosmologi Kesundaan
dalam Sajak-sajak Acep Zamzam Noor" oleh Lutfi Mardiansyah.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya tentu lebih menarik lagi. Saya sangat
menantikannya.
Ya, sangat saya
nantikan! Saya senang berada di dalam diskusi tentang kebudayaan semacam ini.
Saya kira, kegiatan semacam ini mampu membuka pikiran atas realitas yang sedang
terjadi dengan sudut pandang berbeda.
Hal tersebut membuat seseorang lebih bijak melihat setiap kejadian. Begitu saya
kira. Selain itu, ruang-ruang semacam ini menawarkan pertemuan dengan banyak
orang. Tentu kita akan dapat rekan baru di ajang seperti ini. Menambah saudara. Sayangnya, saya belum bisa terlalu masuk
dalam suasana tersebut. Yang saya kenal di sana hanya Lutfi (saya kenal beliau
di sebuah komunitas bernama "Taraje". Saat itu, kami diamanahi
mengisi kelas menulis puisi secara online di forum tersebut). Belum ada
pencatatan mengenai siapa yang datang di Warung Narasi (sebut saja, misalnya,
presensi berjalan) membuat orang yang baru gabung seperti saya perlu waktu yang
relatif lama untuk beradaptasi. Hehe.
Setelah keluar dari
warung tersebut, saya berpapasan dengan jalan Tamansari yang kian padat di
akhir pekan. Arus kendaraan di kedua arah (menuju Cihampelas dan menuju
Cicaheum) merayap. Hal tersebut menandai kenyataan bahwa saya harus kembali
hibuk masuk ke realita yang serba cepat dan tergesa. Saya akan kembali ke hari-hari yang saling
kejar dan saling betot. Suatu saat, saya akan lelah dan pikiran saya buntu.
Tentu, saya ingin duduk berdiskusi dan mencari seporsi ide. Mungkin, saya bisa
mampir lagi ke Kebun Seni untuk mencari warung nasi, eh, warung narasi. :)
0 komentar:
Posting Komentar