02 Juni 2014

Ke Warung N(ar)asi

Ketika mendengar "Warung Narasi", terlintas padanan lain yang terdengar sama "Warung Nasi" (tanpa sisipan -ar di antaranya). Sebuah tempat makan yang lazim ditemui di mana pun. Tempat yang menjadi sangat pas didatangi oleh manusia Indonesia yang kelaparan di saat-saat tertentu. Tentu, karena lazimnya orang Indonesia makan nasi. Ternyata ini bukan sembarang warung, apalagi warung yang menawarkan menu nasi dan rekanannya. Alih-alih menawarkan nasi, sebuah "kios" di kebun seni, jl.Tamansari no 14 Bandung ini menawarkan aneka menu pemikiran. Saya katakan demikian sebab yang ada di tempat itu adalah kajian mengenai sastra dan kebudayaan. Bahan bakar yang lezat untuk pemikiran kritis dan kreatif.

Dari luar, kios ini tampak mentereng dengan warna merah muda sebagai warna dominan. Papan nama "warung Narasi" yang terpampang di atas kios membuat kios ini mudah dicari dan dikenali. Di depan kios, beberapa kursi berderet seakan mengawal di pintu kios. Kadang, kursi tersebut dihuni oleh kuncen kios, Bung Lutfi Mardiansyah. Saat masuk ke dalam, saya disambut rak buku besar berisi buku-buku semiotik, sastra, dan budaya.  Suasana yang hangat untuk memulai diskusi.

Karena belum sempat ambil foto lokasi, saya cari foto lokasi Warung Narasi di media sosial. Sumber foto ini berasal dari sini :)


Saya pikir, siapapun yang tengah "kelaparan" ide segar bisa mampir ke tempat ini setiap minggu kedua dan keempat di setiap bulan. Pertemuan perdua minggu tersebut menawarkan pembahasaan terkait sastra dan kebudayaan. Pertemuan yang dinamai Maklumat Jumat berlangsung setiap pukul 15.00-17.00 WIB. Pada pertemuan pertama (16/5), topik yang dibahas adalah "Ideologi dalam Puisi" oleh Pak Acep Iwan Saidi. Pertemuan kedua (30/5) membahas "Kosmologi Kesundaan dalam Sajak-sajak Acep Zamzam Noor" oleh Lutfi Mardiansyah. Pertemuan-pertemuan selanjutnya tentu lebih menarik lagi. Saya sangat menantikannya.

Ya, sangat saya nantikan! Saya senang berada di dalam diskusi tentang kebudayaan semacam ini. Saya kira, kegiatan semacam ini mampu membuka pikiran atas realitas yang sedang terjadi dengan sudut pandang  berbeda. Hal tersebut membuat seseorang lebih bijak melihat setiap kejadian. Begitu saya kira. Selain itu, ruang-ruang semacam ini menawarkan pertemuan dengan banyak orang. Tentu kita akan dapat rekan baru di ajang seperti ini. Menambah saudara.  Sayangnya, saya belum bisa terlalu masuk dalam suasana tersebut. Yang saya kenal di sana hanya Lutfi (saya kenal beliau di sebuah komunitas bernama "Taraje". Saat itu, kami diamanahi mengisi kelas menulis puisi secara online di forum tersebut). Belum ada pencatatan mengenai siapa yang datang di Warung Narasi (sebut saja, misalnya, presensi berjalan) membuat orang yang baru gabung seperti saya perlu waktu yang relatif lama untuk beradaptasi. Hehe.

Setelah keluar dari warung tersebut, saya berpapasan dengan jalan Tamansari yang kian padat di akhir pekan. Arus kendaraan di kedua arah (menuju Cihampelas dan menuju Cicaheum) merayap. Hal tersebut menandai kenyataan bahwa saya harus kembali hibuk masuk ke realita yang serba cepat dan tergesa.  Saya akan kembali ke hari-hari yang saling kejar dan saling betot. Suatu saat, saya akan lelah dan pikiran saya buntu. Tentu, saya ingin duduk berdiskusi dan mencari seporsi ide. Mungkin, saya bisa mampir lagi ke Kebun Seni untuk mencari warung nasi, eh, warung narasi. :)

0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.