Suatu pagi, Agustus
2014
Eika tersayang,
baru-baru ini aku membaca statusmu di media sosial Facebook. Aku mengutip
beberapa pertanyaan yang, menurutmu, sangat menyebalkan jika diajukan.
Ah, sesungguhnya
pertanyaan-pertanyaan di atas adalah contoh yang tepat sebagai pertanyaan yang
tak menginginkan jawaban. Sebab kupikir, apapun jawaban yang kita ajukan nanti
adalah jawaban yang akan mereka anggap salah. Inti dari diajukannya pertanyaan tersebut
bukan terletak pada keingintahuan mereka atas sebuah kabar melainkan pada
penghakiman mereka pada kita. Rasanya sama seperti pengalamanku bertemu seorang
penanya di dalam kelas. Ketika itu, di sebuah mata kuliah, aku diharuskan
mempresentasikan sebuah materi. Seorang kawan lalu mengacungkan tangan untuk
menanggapi pemaparanku. Ia bertanya padaku. Sayangnya, tak lama setelah aku
mencoba menjawab, kawanku ini berpanjang lebar memberi penjelasan atas
pertanyaannya sendiri. Tidakkah ia tampak seperti sedang mengetes? Ya. Dari hal
tersebut, aku sadar akan keberadaan jenis pertanyaan "palsu" di muka
bumi ini.
Aku menerka muasal
jenis pertanyaan seperti itu. Kupikir, pertanyaan-pertanyaan yang kau bagikan
itu berasal dari dua hal, ketidaktahuan dan ketakutan. Para penanya mungkin
termakan arus utama kehidupan yang (seperti) lancar bagai jalan bebas hambatan.
Atau, mereka terjebak indahnya opera sabun dan drama picisan di layar kaca.
Akibatnya, kehidupan tampak begitu sempurna. Mereka tidak tahu bahwa kehidupan
adalah kebalikan dari semua itu. Menurut mereka, hidup berjalan dengan ritme
baku: lahir, balita, anak-anak, sekolah, kuliah, kerja, menikah, beranak,
bercucu, kaya, bahagia, dan mati dengan damai-bahagia-khusnul khotimah. Ketika
mereka melihatmu tidak memiliki ritme tersebut, mereka menganggap kau
benar-benar bermasalah. Ya, ya, sederhananya mereka terlalu mainstream!
Selanjutnya, pertanyaan tersebut lahir dari ketakutan mereka sendiri.
Mereka yang sebenarnya takut dengan adanya kenyataan bahwa ada jenis manusia
yang terlambat lulus, tak lancar dalam berkarier, bertahun-tahun belum
dikaruniai keturunan, atau apapun hal yang "aneh" menurut mereka.
Mereka pun takut hal tersebut menimpanya. Merekalah yang sebenarnya sangat
ketakutan.
Aku tak
mengharuskanmu merasa benar dengan dugaanku. Ada pula pertanyaan serupa lahir
dari seseorang yang benar-benar peduli. Namun demikian, pertanyaan mereka hanya
sekadar pertanyaan, selebihnya adalah bantuan dan dukungan. Kau tentu mampu
membedakan mereka yang nyata peduli dengan mereka yang tukang ngomen itu.
Lapang Dada
Sesungguhnya,
menurutku, segala pertanyaan yang menjengkelkan itu adalah perkara waktu. Tidak
ada yang tak menginginkan sebuah kelulusan dalam kuliah, meraih karier
cemerlang, dan memiliki anak setelah pernikahan, bukan? Kita percaya bahwa
semuanya telah diatur sesuai upaya terbaik kita. Oleh sebab itu, semua menjadi
perkara waktu. Para penanya itu hanya sedang tidak tahu (atau mungkin tidak
paham) dengan hal-hal yang tengah menimpamu. Mereka mengomentari segala hal
yang ada di permukaan kehidupan kita. Hal-hal artifisial yang bukan inti
persoalan. Artinya, kita tak perlu turut serta dalam perkara "kecil"
itu. Di sini, kukira fungsi lapang dada mesti bekerja.
Berkali-kali kau
mesti meyakinkan diri bahwa mereka tidak tahu. Allah mengampuni ketidaktahuan
seseorang, bukan? Oh, betapa kita mesti bersedia berlapang dada: tak mudah
merasa jengkel, tersinggung, atau kesal. Fokus saja pada cita-cita besar yang
tengah kau bangun dan yakinlah bahwa Allah tak pernah membiarkanmu tenggelam
dalam kesulitan. Dia tengah merencanakan hal paling baik untuk hidupmu lebih
dari yang kau bayangkan. Dengan demikian, kau akan semakin yakin bahwa
cita-citamu lebih besar daripada hal kecil --semacam komentar-- itu.
Trust Allah, it
works! :)
2 komentar:
so inspiring,
salam kenal : )
Nurul?
Posting Komentar