23 Februari 2015

Sebuah Meja di Guest House Pusat Studi Jepang (PSJ) UI

Sepekan melalui sebuah seminar nasional bertema kajian gender di UI rupanya meninggalkan kesan yang manis buat saya. Pengumuman seleksi abstrak, keberangkatan, selama seminar, hingga pulang kembali ke Bandung adalah hal yang menyenangkan. Inilah yang saya namai pelarian yang sempurna. Lari sejenak dari rutinitas yang mendesak-memabukkan lalu memilih tenggelam dalam agenda akademis yang asyik.

Hal-hal menarik yang saya temui selama seminar adalah pertemuan dengan kawan-kawan aktivis yang telah lebih jauh terjun ke lapangan dan melihat isu kesetaraan gender. Setiap bertemu dengan mereka, saya selalu dapat ilmu dan pengetahuan baru bahkan saat kami ngobrol santai di ruang makan. Itu hal terbesar yang sangat mengesankan saya. Akan saya kisahkan tentang hal tadi di lain kesempatan. Hal lain yang cukup menyita kenangan saya adalah meja belajar di tempat saya menginap selama seminar, Guest House Pusat Studi Jepang (PSJ) UI. Benda tersebut begitu berkesan buat saya.

Saya mengangankan punya meja belajar sejak dahulu kala. Sampai saat ini, saya menulis dan mengerjakan semua pekerjaan akademik di atas meja pendek sederhana yang cukup disandingkan dengan jojodog* sebagai alas duduk. Sesekali pula, saya bekerja di meja ruang tamu yang lebih tinggi dibanding meja di kamar. Tapi yang terjadi lain lagi. Meja tersebut lebih pendek dari kursinya. Posisi tersebut tidak membuat saya nyaman saat saya mengetik atau menulis.  Saya mencoba duduk di lantai. Sebagai alas duduk, saya biasa memakai bantal kursi. Kelemahan kedua meja tersebut adalah tempat duduknya. Dengan alas duduk semacam jojodog atau bantal kursi, saya tentu tidak mungkin bisa bersandar saat punggung saya mulai pegal.

Meja dengan fungsi khusus sebagai tempat belajar atau bekerja kemudian jadi hal yang istimewa, yang saya impikan untuk menunjang kegiatan saya. Maka saat saya menempati Guest House di PSJ, saya merasa mendapatkan kemewahan itu. Kemewahan pertama, sebenarnya, adalah ketika rekan sekamar saya ternyata tidak hadir. Artinya, ruangan yang cukup lega itu diperuntukkan untuk saya seorang. Terdapat dua kasur di kamar itu. Lalu, karena rekan sekamar saya tidak hadir maka saya bisa mencoba tidur di kedua kasur tersebut bergantian. Aih, betapa "ngampung"nya saya ketika itu. Kemewahan selanjutnya, yang utama, adalah penguasaan atas meja belajar di ruangan itu. Meja belajar itu berwarna hitam terbuat dari kayu. Terdapat dua laci di sisi kanan bawah meja. Kursi dengan warna selaras memberi bantalan empuk saat diduduki. Permukaan atas meja belajar tersebut dilapisi kaca sehingga mudah dilap dan dibersihkan saat kotor.

saya tidak sempat memotret sendiri meja tersebut. Jadi, saya ambil gambar ini darii blog GH PSJ UI. Hehe, cukup memberi gambaran.
Saat itu, saya masih ingat, saya tengah menyelesaikan power point untuk presentasi esok hari. Saya masih ingat suasana saat itu. Saya memutar sealbum lagu The Beatles dan mengetik dengan suka cita. Saat punggung saya lelah, saya bersandar di punggung kursi. Saat kaki saya pegal, saya bisa menyandarkan ujung kaki saya ke sebuah kayu yang melintang di antara dua kaki meja. Tanpa terasa, waktu sudah tengah malam. Saya merasa betah bekerja di atas meja itu. Persiapan presentasi selesai, hati sungguh riang. 

Saya jadi mengangankan punya meja serupa. Meja yang tidak terlalu pendek sehingga nyaman untuk melipat tangan di atas meja, di depan dada, seperti anak-anak di bangku sekolah. Atau, yang lebih canggih dari itu misalnya sebuah meja bergaya klasik di tengah sebuah ruang kerja yang lebih mirip perpustakaan. Meja dan ruangan tersebut seperti milik Rudyard Kipling, seorang penulis dari Inggris.

Meja kerja dan ruang kerja Kipling. Sumber dari sini.
Atau, lagi, meja pendek sederhana tapi nyaman seperti yang dimiliki personil The Beatles, John Lennon. Mejanya cukup pendek, memang, tapi lebar dan tampak nyaman. Sebuah karpet yang empuk bisa menambah kenyamanan saat bekerja di meja ini. Ditambah bantal duduk yang juga lembut dan empuk, mengetik jadi menyenagkan. Namun, sekali lagi, jika punggung terasa pegal saya tidak bisa bersandar kecuali meja tersebut diletakkan di dekat dinding.

Meja kerja Lennon dan Yoko Ono. Sumber dari sini. 

Tapi, tentu bukan jadi masalah besar punya meja kerja atau tidak jika semua pekerjaan toh masih bisa diselesaikan. Yang lantas menjadi soal adalah saat tak menghasilkan karya apapun meski sudah memiliki fasilitas bekerja.  Sejauh ini saya masih bersyukur dengan ketiadaan meja khusus di tempat tinggal saya. Artinya, saya bisa bekerja (menulis, mengetik) di seluruh penjuru rumah. Atau, saya bisa berpetualang ke luar dan menjadikan semua tempat di luar sana sebagai tempat bekerja. Agaknya, juga, saya bisa meniru gaya ruang kerja penulis Roald Dahl. Lihat, dia tak punya meja khusus untuk menuliskan ceritanya. Ia hanya membentangkan sebuah (seperti) papan di antara kedua pegangan sofa dan jadilah tempat nyaman untuk berkarya.

Ruang kerja Roald Dahl. Sumber dari sini

Ia menambahkan banyak ornamen di dinding dan di sekitar sofa untuk mempercantik ruangannya. Semua tampak sederhana. Jadi, memang, tak masalah di mana pun saya belajar dan bekerja. Namun, percayalah saya sangat bersyukur dapat menikmati "kemewahan" sesaat di Guest House UI itu. Saya dapat sesaat menikmati sensasi memiliki (sementara) meja belajar/kerja yang istimewa. Untunglah, saya tak bisa membawa meja itu ke Bandung!



"Markas" saya beserta meja dan jojodognya. 

*) jojodog? hm, kurang lebih artinya adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu. Biasa digunakan sebagai tempat duduk di pawon (dapur, Sunda)

0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.