Sepekan melalui
sebuah seminar nasional bertema kajian gender di UI rupanya meninggalkan kesan
yang manis buat saya. Pengumuman seleksi abstrak, keberangkatan, selama
seminar, hingga pulang kembali ke Bandung adalah hal yang menyenangkan. Inilah
yang saya namai pelarian yang sempurna. Lari sejenak dari rutinitas yang
mendesak-memabukkan lalu memilih tenggelam dalam agenda akademis yang asyik.
Hal-hal menarik yang
saya temui selama seminar adalah pertemuan dengan kawan-kawan aktivis yang
telah lebih jauh terjun ke lapangan dan melihat isu kesetaraan gender. Setiap
bertemu dengan mereka, saya selalu dapat ilmu dan pengetahuan baru bahkan saat
kami ngobrol santai di ruang makan. Itu hal terbesar yang sangat mengesankan
saya. Akan saya kisahkan tentang hal tadi di lain kesempatan. Hal lain yang cukup menyita kenangan saya adalah meja belajar di tempat saya menginap selama seminar,
Guest House Pusat Studi Jepang (PSJ) UI. Benda tersebut begitu berkesan buat
saya.
Saya mengangankan
punya meja belajar sejak dahulu kala. Sampai saat ini, saya menulis dan
mengerjakan semua pekerjaan akademik di atas meja pendek sederhana yang cukup
disandingkan dengan jojodog* sebagai alas
duduk. Sesekali pula, saya bekerja di meja ruang tamu yang lebih tinggi
dibanding meja di kamar. Tapi yang terjadi lain lagi. Meja tersebut lebih
pendek dari kursinya. Posisi tersebut tidak membuat saya nyaman saat saya
mengetik atau menulis. Saya mencoba
duduk di lantai. Sebagai alas duduk, saya biasa memakai bantal kursi. Kelemahan
kedua meja tersebut adalah tempat duduknya. Dengan alas duduk semacam jojodog atau bantal kursi, saya tentu tidak
mungkin bisa bersandar saat punggung saya mulai pegal.
Meja dengan fungsi
khusus sebagai tempat belajar atau bekerja kemudian jadi hal yang istimewa,
yang saya impikan untuk menunjang kegiatan saya. Maka saat saya menempati Guest
House di PSJ, saya merasa mendapatkan kemewahan itu. Kemewahan pertama, sebenarnya, adalah ketika
rekan sekamar saya ternyata tidak hadir. Artinya, ruangan yang cukup lega itu
diperuntukkan untuk saya seorang. Terdapat dua kasur di kamar itu. Lalu, karena
rekan sekamar saya tidak hadir maka saya bisa mencoba tidur di kedua kasur
tersebut bergantian. Aih, betapa "ngampung"nya saya ketika itu. Kemewahan selanjutnya, yang utama, adalah penguasaan atas
meja belajar di ruangan itu. Meja belajar itu berwarna hitam terbuat dari kayu.
Terdapat dua laci di sisi kanan bawah meja. Kursi dengan warna selaras memberi
bantalan empuk saat diduduki. Permukaan atas meja belajar tersebut dilapisi
kaca sehingga mudah dilap dan dibersihkan saat kotor.
saya tidak sempat memotret sendiri meja tersebut. Jadi, saya ambil gambar ini darii blog GH PSJ UI. Hehe, cukup memberi gambaran. |
Saat itu, saya masih
ingat, saya tengah menyelesaikan power point untuk presentasi esok hari. Saya
masih ingat suasana saat itu. Saya memutar sealbum lagu The Beatles dan
mengetik dengan suka cita. Saat punggung saya lelah, saya bersandar di punggung kursi. Saat kaki saya pegal, saya bisa menyandarkan ujung kaki saya
ke sebuah kayu yang melintang di antara dua kaki meja. Tanpa terasa, waktu sudah tengah malam. Saya merasa betah bekerja di atas meja itu. Persiapan presentasi selesai, hati sungguh riang.
Saya jadi mengangankan punya meja serupa. Meja yang tidak terlalu pendek sehingga nyaman untuk melipat tangan di atas meja, di depan dada, seperti anak-anak di bangku sekolah. Atau, yang lebih canggih dari itu misalnya sebuah meja bergaya klasik di tengah sebuah ruang kerja yang lebih mirip perpustakaan. Meja dan ruangan tersebut seperti milik Rudyard Kipling, seorang penulis dari Inggris.
Atau, lagi, meja pendek sederhana tapi nyaman seperti yang dimiliki personil The Beatles, John Lennon. Mejanya cukup pendek, memang, tapi lebar dan tampak nyaman. Sebuah karpet yang empuk bisa menambah kenyamanan saat bekerja di meja ini. Ditambah bantal duduk yang juga lembut dan empuk, mengetik jadi menyenagkan. Namun, sekali lagi, jika punggung terasa pegal saya tidak bisa bersandar kecuali meja tersebut diletakkan di dekat dinding.
Meja kerja dan ruang kerja Kipling. Sumber dari sini. |
Meja kerja Lennon dan Yoko Ono. Sumber dari sini. |
Tapi, tentu bukan jadi
masalah besar punya meja kerja atau tidak jika semua pekerjaan toh masih bisa
diselesaikan. Yang lantas menjadi soal adalah saat tak menghasilkan karya
apapun meski sudah memiliki fasilitas bekerja.
Sejauh ini saya masih bersyukur dengan ketiadaan meja khusus di tempat
tinggal saya. Artinya, saya bisa bekerja (menulis, mengetik) di seluruh penjuru
rumah. Atau, saya bisa berpetualang ke luar dan menjadikan semua tempat di luar
sana sebagai tempat bekerja. Agaknya, juga, saya bisa meniru gaya ruang kerja
penulis Roald Dahl. Lihat, dia tak punya meja khusus untuk menuliskan
ceritanya. Ia hanya membentangkan sebuah (seperti) papan di antara kedua
pegangan sofa dan jadilah tempat nyaman untuk berkarya.
Ruang kerja Roald Dahl. Sumber dari sini |
Ia menambahkan
banyak ornamen di dinding dan di sekitar sofa untuk mempercantik ruangannya.
Semua tampak sederhana. Jadi, memang, tak masalah di mana pun saya belajar dan
bekerja. Namun, percayalah saya sangat bersyukur dapat menikmati
"kemewahan" sesaat di Guest House UI itu. Saya dapat sesaat menikmati
sensasi memiliki (sementara) meja belajar/kerja yang istimewa. Untunglah, saya tak bisa
membawa meja itu ke Bandung!
*) jojodog? hm, kurang lebih artinya adalah tempat duduk kecil yang terbuat dari kayu. Biasa digunakan sebagai tempat duduk di pawon (dapur, Sunda)
0 komentar:
Posting Komentar