Saya tak berani menghitung
jumlah teman-teman guru honorer yang belum menerima gaji selama berbulan-bulan.
Alasannya, jumlah mereka tentulah banyak. Menurut data pokok pendidikan
(Dapodik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013 yang dilansir JPNN,
jumlah guru honorer di seluruh Indonesia telah mencapai 489.459 orang, dari
total 1.441.171 orang guru. Jumlah ini masih merupakan jumlah guru honorer SD,
belum ditambah guru honorer SMP dan SMA. Jumlah tadi tersebar di 33 propinsi
termasuk wilayah pelosok, perbatasan, dan kepulauan terdepan. Artinya, demikian
besar jumlah mereka di Indonesia. Saya membayangkan jika gaji yang semestinya
diperuntukkan bagi mereka tersendat entah oleh apa, maka hampir sejumlah itulah
hak teman-teman guru honorer yang abai tersampaikan.
Saya kemudian membayangkan
betapa teman-teman itu adalah guru yang benar-benar berkenan mengabdikan diri
untuk masa depan penerus negeri. Mereka penuh tulus membimbing para siswa. Jika
ada rekan guru yang mesti menempuh jarak dan waktu yang tak biasa menuju
sekolah, hal tersebu dilalui dengan kerelaan. Ilmu yang mereka punya lantas
mereka bagikan dengan sukarela. Tak jarang mereka berupaya menempa diri,
mengembangkan keilmuan dengan cara mereka demi pembelajaran yang lebih baik. Di
satu sisi, mereka pulalah yang dimintai tanggung jawab atas perkembangan
karakter, sikap, dan perilaku siswa secara menyeluruh. Di saat seperti itu,
saya merasa tugas pendidik adalah tugas yang tak kenal henti. Namun kebanyakan
dari mereka melakukannya dengan penuh kesadaran dan sukacita.
Lantas, saya kembali pada
ingatan bahwa hak mereka tak terpenuhi dengan baik. Jujur, saya merasa terluka.
Ibarat mengikhlaskan diri menjadi bumi bagi tanaman-tanaman yang kelak akan
rimbun berbunga, mereka rela menyediakan kesuburan bagi tumbuhnya
tanaman-tanaman tersebut, rela menjadi wadah bagi kehidupan yang kelak akan
berjalan. Teman-teman pengajar tadi adalah wadah yang bersedia menyediakan
dirinya untuk menumbuhkan potensi para siswanya di masa depan. Di tengah
luasnya kerelaan tersebut, saya masih mendengar cerita mereka yang belum
memperoleh gaji. Mungkin tidak semua teman guru menyikapinya sebagai sebuah
kendala besar. Mereka masih tulus ikhlas mengajar sembari berharap hak mereka
tiba suatu hari. Namun, harus seberapa lama mereka berada dalam kondisi seperti
itu? Apa harus seperti itu penghargaan atas mereka? Tidakkah ada yang merasa
bahwa ketulusan mereka telah dicederai?
Ketulusan mereka dicederai oleh
rasa abai. Atas nama kepentingan, hak mereka mengambang di udara. Di entah di
mana. Saya tak hanya sedang menyoal hak berupa materi sebagai satu-satunya
bentuk penghargaan. Namun, jika hal yang seperti itu tak bisa dipenuhi saya
sangsi hal besar yang mestinya diberikan kepada mereka juga mampu disanggupi.
Saya hanya ingin menyoal perasaan terdalam manusia jika menemukan sosok-sosok yang berjuang
tanpa pamrih dan begitu sungguh-sungguh untuk orang lain, sebuah kesatuan di
luar dirinya sendiri, di tengah kondisi mereka sendiri yang terbatas.
Semestinya rasa haru dan terenyuh yang muncul sebagai satu bentuk sederhana
dari menghargai usaha besar itu. Yang muncul ternyata beragam perlakuan tak
hirau dari negeri sendiri.
Seperti yang saya utarakan di
atas, tidak semua teman-teman pengajar menjadikan materi sebagai satu-satunya
tujuan mengajar. Banyak pula yang megajar karena panggilan jiwa. Mereka
benar-benar ingin membangun generasi yang lebih baik. Maka saat nominal yang
turun tak lengkap atau sama sekali tak datang, mereka masih berbesar hati.
Namun, bukan berarti saya harus memandang dari sudut itu. Bukankah semestinya
saya makin terluka sebab mereka bahkan begitu
berlapang hati menerima kenyataan bahwa ketulusan mereka tengah
dicederai.
Tulisan saya ini begitu
emosional, tampaknya. Saya lantas tak fasih berujar mengenai hal ini. Tentu
banyak tulisan serupa yang telah dibuat. Isu serupa, suara serupa. Maka saya
hanya sebagian kecil dari penyuaraan tersebut. Saya hanya merasa khawatir,
kemudian, terhadap negeri yang konon tengah berbenah ini. Saya mencoba
bercermin pada keadaan Indonesia yang masih karut marut. Saya khawatir hal
tersebut terjadi, salah satunya, karena masih begitu banyak ketulusan yang
sedemikian dicederai.
Mari berbenah, mari peduli.
0 komentar:
Posting Komentar