30 Agustus 2017

Ranger Biru dan Sebuah Nostalgia Masa Kecil

[Jurnal ke #2 ]

"Pemeran ranger biru dalam serial Power Rangers terbaru adalah orang Indonesia!"
Begitulah kira-kira reaksi takjub saya saat tahu salah satu pemeran  Ninja Steel itu berasal dari Indonesia. Namanya Peter Sudarso. Saudaranya pun, Yoshi Sudarso, berperan sebagai ranger biru dalam serial power rangers yang lain, Power Rangers Dino Charge. Duo Sudarso mulai viral di media sosial terutama saat menjadi salah satu tamu dalam temu komunitas Diaspora Indonesia, sebuah komunitas warga Indonesia yang tinggal dan besar di negara lain. Kemunculan Peter dan Yoshi, ranger biru, dan power rangers kembali mengingatkan saya pada kenangan masa kecil saya bertahun-tahun silam. Sesuatu yang menggelitik memori saya seperti ingin kembali masuk dan menikmati masa-masa itu.
*** 
Seorang kawan membuatkan saya gambar ini! :D
Sebutlah ia, Blake Anthony Foster. Ia adalah pemeran ranger biru dalam serial pahlawan super, Power Rangers Turbo. Film kegemaran anak-anak yang berbahagia hidup dan berkembang di tahun 90-an ini sebenarnya telah diputar tahun 1997 di negara asalnya, Amerika. Namun, baru bisa disaksikan penontonnya di Indonesia tiga tahun kemudian. Saya adalah salah satu anak kecil yang turut berbahagia dengan adanya tayangan itu di Indonesia. 

Blake foster memerankan tokoh ranger biru bernama Justin Stewart. Meneruskan perjuangan Tommy dan kawan-kawan di series terdahulu yakni Power Rangers Zeo dan Mighty Morphin Power Rangers, Justin dan kawan-kawan tergabung dalam Power Rangers Turbo. Justin  adalah ranger paling muda di antara empat rekan satu timnya. Usianya baru dua belas tahun namun ia mampu melengkapi kekuatan pasukan turbo menghadapi lawan dengan sebuah senjata bernama Turbo Hand Blaster. 

Sebagai seorang siswa sekolah, Justin digambarkan tak gentar menghadapi perlakuan beberapa rekannya yang kerap melakukan perundungan (bullying). Isu perundungan terutama pada anak-anak menjadi isu yang cukup penting di negara Super Power itu. Tak heran jika isu itu pun dimunculkan dalam serial anak seperti Power Rangers Turbo lewat tokoh Justin. Keberanian tokoh Justin menghadapi hal-hal sulit dan tak menyenangkan itulah yang membuat saya menjadi salah satu penggemar beratnya kala itu. Barangkali hal ini sama dengan hal yang kini dialami anak-anak generasi Z. Mereka mengidolakan personil boy band, pemeran drama dari negeri ginseng, atau pemain sinetron tentang kebut-kebutan wal cinta-cintaan. Bedanya, saya mengidolakan tokoh fiksi yang bisa berubah menjadi manusia berkekuatan super.


Menjadi penggemar (fans) Blake Foster alias Justin Stewart ketika itu saya rasa sangatlah menyenangkan tapi juga memalukan. Banyak hal yang saya rasa sangatlah konyol jika diingat kembali. Tapi tak sedikit pula pelajaran positif dari hal tersebut. Menonton Power Rangers Turbo selepas magrib, misalnya, adalah sebuah keharusan. Ritual yang tak boleh diganggu gugat oleh sesiapa bahkan oleh kakek saya yang sangat galak. Satu hal saja yang paling dicari: Justin! Berpakaian serba biru pun menjadi sebuah ciri sebab saya berusaha meniru sang idola. Sedemikian jatuh cintanya saya pada tokoh Justin hingga saya punya satu buku khusus dan rahasia tentang perasaan saya tiap kali "bertemu" Justin di layar kaca. Saya simpan rapat-rapat buku itu di pojok paling bawah lemari pakaian sebab merasa malu jika ada orang lain yang membaca. Namun malang tak dapat dihadang. Ibu yang terlampau rajin membereskan lemari saya akhirnya menemukan (dan membaca semua isi) buku "tabungan perasaan" saya itu. Saya membayangkan ibu saya terpingkal saat membaca buku itu. Buku bekas berisi curahan perasaan bocah sekolah dasar yang dipenuhi gambar dan catatan tentang Justin.


Gambar diambil dari sini

Jauh sebelum ibu akhirnya menemukan buku bertuah saya di dasar lemari, saya menuliskan angan yang besar untuk mengunjungi negeri Paman Sam. Di sebuah adegan Power Rangers, kamera menyorot jelas sebuah bendera di depan gedung sekolah Justin. Rasa penasaran saya muncul. Saya lantas membuka buku IPS dan menemukan bahwa bendera itu adalah bendera Amerika.  Di baris selanjutnya mengenai Amerika tertulis bahwa bahasa kebangsaan negara itu adalah bahasa Inggris. Dari sinilah saya mulai bertekad untuk belajar bahasa Inggris dengan tekun. Alasan terbesarnya tentu saja demi bertemu dan berkomunikasi dengan sang pujaan. Saya pun mulai mencoba menulis beberapa catatan perasaan saya beserta contoh percakapan yang barangkali bisa saya sampaikan jika bertemu ranger biru dalam bahasa Inggris. Namun jangan membayangkan bahasa Inggris yang saya pakai adalah bahasa Inggis yang baik. Sungguh awut-awutan tak karuan. Tetapi demi cinta, saya pantang menyerah untuk belajar.


Pada masa itu, sebenarnya, bahasa Inggris baru dipelajari di SD kelas 6. Sementara itu, saya sudah lebih dahulu menyukai bahasa asing itu bahkan sebelum resmi dipelajari di sekolah. Kamus yang saya temukan di rak buku di rumah adalah sarana belajar pertama saya. Akibatnya, saya termasuk siswa yang terhitung cepat menguasai pelajaran "baru" itu di sekolah. Saya kemudian menjadi siswa yang menggemari pelajaran itu hingga bertahun-tahun selanjutnya. Inilah nilai positif yang saya dapat. Saya kemudian merasa bersyukur sebab pernah mengidolakan sang ranger biru dengan sangat keras kepala. 

Di akhir masa sekolah dasar itu pulalah saya merasakan patah hati yang tak tergambarkan. Tepatnya saat serial kesayangan saya itu mencapai episode terakhirnya. Sebenarnya, serial tersebut masih berlanjut di Power Rangers in Space. Namun yang menjadi persoalan adalah tidak hadirnya sosok Justin di serial lanjutan tersebut. Sosok Justin memang sempat muncul namun di satu episode saja. Maka berakhirlah sudah kisah saya dengan sang tokoh fiktif, Justin Stewart.

***

Kisah-kisah menggelikan ini tampaknya tak akan saya alami jika saya terlahir menjadi anak yang lahir selepas era 90-an. Tak bisa dimungkiri bahwa tayangan ramah anak seperti Power Rangers di era 90-an sangatlah melimpah. Saya merasakan betul  bahwa kehidupan saya yang berbahagia saat ini banyak dipengaruhi  oleh hal-hal yang saya dapat di masa kecil saya itu. Saya kemudian rindu masa itu. Masa saat hari Minggu dapat diisi dengan menonton acara-acara anak sepanjang hari, tayangan anak yang beragam di hari lain selain hari Minggu, kegembiraan menyanyikan lagu anak, dan kebahagiaan berlangganan majalah anak dengan mudah. 

Sebentar. Mengapa tulisan ini berakhir menjadi sangat melankolis dan penuh nostalgia? Perihal nostalgia ini agaknya harus saya tulis khusus di postingan saya selanjutnya. 

Sampai jumpa di postingan selanjutnya mengenai nostalgia.
Mountain blaster, turbo power!



0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.