Tanyaku penasaran sesaat setelah Dira menutup obrolannya. Hampir satu jam Dira berbincang dengan kawannya di seberang telepon itu. Suara tawanya yang keras memecah kesunyian di kantor. Situasi kantor saat itu memang sedang cukup sepi. Tak tampak ada aktivitas yang ramai di setiap kelas. Biasanya, semua ruangan kursus ini terisi penuh.
"Itu, lho, Sil. Rintan" jawabnya.
"Rintan? Kok tumben Rintan telepon kamu. Perasaan udah lama banget dia menghilang dari muka bumi. Hehe" komentarku usil.
Aku tahu, Rintan sudah jarang sekali menghubungi Dira. Dahulu memang Rintan tak pernah bisa jauh darinya. Bahkan katanya, Rintan selalu menghubungi Dira setiap malam karena butuh teman curhat tentang kekasihnya Dion. Tapi, rasanya sekarang hal itu mulai berubah.
"Sibuk di tempat kerjanya yang baru katanya. Tadi dia bilang kangen banget pengin ketemu, terus ngajak ketemuan deh Sabtu ini." balas Dira tampak membela Rintan.
Aku tiba-tiba ingat bahwa dulu Rintan juga selalu meminta bertemu dengan Dira, tepatnya saat hubungannya dengan Dion sudah berada di ujung tanduk. Lalu, setelah hubungan mereka benar-benar berakhir, Rintan yang rapuh makin lekat pada Dira.
"Kabar dia dan suaminya gimana?" tanyaku. Entahlah aku ingin sekali mengetahui kabar terbaru Rintan dengan suaminya saat ini.
"Dia gak cerita banyak sih. Tapi kayaknya sedang ada masalah gitu, Sil" jelas Dira.
Aku ingat betul. Beberapa lama setelah putus dari Dion, Rintan sudah dapat kekasih baru, Andra. Dia tampak sangat bahagia dengan dunianya yang baru itu. Terlebih saat ia pindah dari tempat kerja kami ke tempat kerja Andra tanpa ada pamitan yang berarti dengan Dira. Sejak itu, ia tampak jarang menghubungi Dira lagi, jarang mengajak Dira bertemu atau makan siang bersama di luar. Begitu seterusnya hingga Rintan dan kekasihnya itu menikah.
"Lalu, sekarang dia datang lagi padamu karena ada masalah dengan suaminya ya, Ra?" terkaku.
Dira tampak terdiam. Mungkin ia sedang benar-benar merenungkan perlakuan Rintan padanya.
"Ra, aku mau tanya deh." aku memecah lamunan Dira.
"Dia tahu masalah kamu dengan Pascal?" lanjutku dengan nada bicara yang berat mencoba menekankan bahwa ia pun saat ini sedang punya masalah.
Pascal menghilang setelah cuti kuliahnya habis. Awalnya Dira pikir Pascal ingin fokus menyelesaikan studi yang sudah molor bertahun-tahun. Tapi, Dira malah jadi tak bisa menghubunginya sama sekali.
Pertanyaanku tadi sesungguhnya hanya memastikan bahwa Rintan juga tahu apa yang sedang Dira hadapi dan tidak melulu Rintan yang harus didengar.
"Sejujurnya enggak, Sil. Aku gak cerita banyak tentang Pascal ke Rintan. Setiap kali mau cerita, Rintan sibuk." jelasnya.
Mungkin memang kesibukan Rintan di tempat kerja baru itu sangatlah padat. Tapi, aku belum paham sepadat apa kesibukannya hingga tak bisa sebentar saja bertukar peran, Rintan yang kini jadi pendengar buat Dira. Lebih jauh, aku bertanya dalam hati, kenapa seseorang harus datang kepada kawannya hanya saat merasa butuh. Sang kawan bukanlah stasiun tempatnya sejenak singgah sebelum pergi begitu jauh. Jika semata berteman karena ingin mencari keuntungan sesungguhnya itu sangatlah rugi. Kita tidak pernah tahu dari mana datangnya pertolongan saat kita benar-benar membutuhkannya kelak.
"Tetap berlaku baik aja, ya, Ra. Tapi maaf jangan memaksakan dirimu menganggap Rintan sebagai kawan dekatmu lagi." ujarku lirih.
"Pertemuanmu dengan Rintan nanti benar-benar buat temu kangen aja. Aku khawatir dia kembali meninggalkanmu saat ia merasa masalahnya dengan Andra sudah reda. Lalu, semua kembali seperti semula, kamu jadi teman yang dilupakan. Sesekali, cobalah juga untuk menolak Rintan." jelasku.
"Iya, Sil. Ternyata, aku memang gak bisa mengharapkan semua orang akan tetap jadi temanku. Termasuk Rintan." jawabnya.
Ruangan menjadi hening. Kami sama-sama menerka perasaan masing-masing. Dari luar, tiba-tiba seorang lelaki berhelm dan berseragam hijau mengucap salam.
"Kamu pesan ojek online, Sil? Mau ke mana?" Dira penasaran.
"Ah iya. Aku antar titipan makanan dulu nih ke Tamansari." jawabku sambil menunjukkan goodie bag berisi paket lengkap makan siang, buah-buahan, dan yogurt.
"Eh,boleh nitip beliin bakso Solo gak di sana?" Curhatan kami tadi sepertinya berhasil membuat Dira lapar.
"Hmm… Karena kamu sedang ada masalah dengan Rintan, kayaknya saat ini kamu gak cocok makan bakso, deh" jelasku dengan lagak serius.
"Lho? Makan apa dong?" Dira menimpali dengan penasaran.
"Makan ati!" selorohku puas.
"Ih, awas, ya, Sil! Aku kutuk kamu jadi bakso aci!" Dira mengancam.
Bakso aci? Haha.
0 komentar:
Posting Komentar