***
Setelah menyaksikan film "Petualangan Menangkap Petir" yang diputar terbatas di Indie Cinema Club Bandung, saya, Dyah, dan Teh Anis melanjutkan wisata seni ke Museum Kota Bandung. Sungguh sarat makna memang malam itu kami habiskan. Haha. Ada apa di Museum Kota Bandung? Tentu bukan sekadar menikmati display museum malam hari. Kamis malam itu (21/3/2019) sedang digelar pergelaran puisi untuk memperingati Hari Puisi Sedunia. Acara bernama yang digagas Jazz Poet Society itu sejatinya digelar pukul 19.00 WIB. Sayangnya, saat itu kami tiba di lokasi sekira pukul 19.30. Saya rasa sesaat sebelumnya kami terlalu asyik makan malam di foodcourt dekat BIP sambil diskusi tentang perbandingan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara Eropa hingga lupa waktu. :D
Museum Kota Bandung sudah tampak ramai dari luar. Pemuda-pemudi masuk menuju ruang utama museum. Di teras, terdapat beberapa stan yang digunakan untuk menjual beragam buku. Saya bertemu dengan Kang Deni dari Lawang Buku di sana. Kami sempat berdiskusi singkat tentang rencana acara bedah buku di Cicalengka bulan April. Pengunjung semakin ramai, saya dan teman-teman kemudian diminta panitia lekas masuk dan menyaksikan acara.
Apakah ada penampilan musik jazz di dalam sana? Sebetulnya tidak juga. Acara ini sesungguhnya adalah acara pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Sepemahaman saya, jazz poetry adalah wadah bagi dua hal yang saling memengaruhi: musik jazz dan puisi. Puisi jazz menjadikan musik jazz sebagai inspirasi. Begitu pun sebaliknya. Jazz Poet Society Bandung sendiri adalah komunitas di bawah naungan Klab Jazz Bandung, sebuah komunitas pecinta musik Jazz. Jazz Poet Society bisa dikatakan sebagai jalan lain untuk memahami dan menikmati musik jazz. Sepertinya kebingungan saya akan sedikit terjawab seandainya tadi saya hadir lebih awal dan menyimak penampilan Kang Syarif Maulana yang berjudul "Jazz adalah bukan ini bukan itu".
Museum Kota Bandung sudah tampak ramai dari luar. Pemuda-pemudi masuk menuju ruang utama museum. Di teras, terdapat beberapa stan yang digunakan untuk menjual beragam buku. Saya bertemu dengan Kang Deni dari Lawang Buku di sana. Kami sempat berdiskusi singkat tentang rencana acara bedah buku di Cicalengka bulan April. Pengunjung semakin ramai, saya dan teman-teman kemudian diminta panitia lekas masuk dan menyaksikan acara.
Apakah ada penampilan musik jazz di dalam sana? Sebetulnya tidak juga. Acara ini sesungguhnya adalah acara pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Sepemahaman saya, jazz poetry adalah wadah bagi dua hal yang saling memengaruhi: musik jazz dan puisi. Puisi jazz menjadikan musik jazz sebagai inspirasi. Begitu pun sebaliknya. Jazz Poet Society Bandung sendiri adalah komunitas di bawah naungan Klab Jazz Bandung, sebuah komunitas pecinta musik Jazz. Jazz Poet Society bisa dikatakan sebagai jalan lain untuk memahami dan menikmati musik jazz. Sepertinya kebingungan saya akan sedikit terjawab seandainya tadi saya hadir lebih awal dan menyimak penampilan Kang Syarif Maulana yang berjudul "Jazz adalah bukan ini bukan itu".
(Jika kawan-kawan punya info tambahan mengenai ini, mohon tambahkan ya. Silakan bagikan informasinya di sini atau jadikan tema obrolan jika kita berjumpa. #Asyik :D )
Malam itu, kami pun bertemu Irfan Ilmy yang ternyata didaulat oleh panitia untuk turut membacakan puisinya. Tentu, penampilannya akan kami nantikan. Saya sempat ditawari Irfan untuk ikut membaca puisi saat sesi jamming nanti. Oh, tentu saya menolak. Saya merasa bukan seorang pembaca puisi panggung yang baik. Haha.
Malam itu, kami pun bertemu Irfan Ilmy yang ternyata didaulat oleh panitia untuk turut membacakan puisinya. Tentu, penampilannya akan kami nantikan. Saya sempat ditawari Irfan untuk ikut membaca puisi saat sesi jamming nanti. Oh, tentu saya menolak. Saya merasa bukan seorang pembaca puisi panggung yang baik. Haha.
Sepanjang acara, kami disuguhi penampilan-penampilan dari berbagai perwakilan komunitas. Sekiranya, ada dua puluh penampil malam itu. Puisi yang ditampilkan malam itu pun berasal dari beberapa bahasa seperti Sunda, Indonesia, Inggris, dan Jepang. Sayangnya, saya tidak mengikuti acara tersebut hingga akhir sehingga saya tidak menikmati semua penampilan. Sedikitnya, saya mengabadikan beberapa penampilan yang sempat saya simak.
Salah satu penampilan yang memukau saya adalah penampilan Kang Zulfa Nasrulloh. Ia membawakan puisi serupa mantra yang dapat menyihir penonton di ruangan itu. Pantas saja, ia membawakan puisi yang magis dari penyair Sutardji Calzoum Bachri sebanyak tiga judul. Ketiga puisi tersebut dibawakan bersamaan dengan improvisasi yang menarik.
Foto dari instagram Jazz Poet Society. Saya tak sempat ambil foto karena memori ponsel yang menipis. Duh. |
Seperti halnya pembacaan puisi Kang Zulfa, pembacaan puisi dari komunitas Celah-Celah Langit pun menarik untuk disimak. Empat orang lelaki membacakan pusi berjudul "Jante Arkidam" karya penyair Ajip Rosidi. Di awal penampilan, mereka bersama-sama membacakan bait demi bait puisi. Selanjutnya, mereka bergantian membacakan puisi tersebut dengan ragam ekspresi dan gerakan. Uniknya, mata mereka tajam menatap penonton seakan berbicara dan berinteraksi dengan semua orang yang hadir di ruangan. Sayang sekali kualitas video di ponsel saya kurang bagus sehingga tidak bisa unggah video penampilan mereka di sini.
Foto yang berhasil saya ambil sendiri |
Penampilan dari Jazz Poet society sendiri pun memukau penonton dengan pembacaan puisi berjudul "We Real cool" dan "For My People". Puisi bahasa Inggris tersebut dibacakan bergantian dengan harmonis. Selain Jazz Poet Society, terdapat pula penampilan puisi berbahasa sunda dari Bu Chye Retti Isnendes. Kemudian, puisi bahasa Jepang dari Puspa Sari. Sayangnya saya tak menyaksikan penampilan puisi berjudul "Iroha" itu.
Foto (masih) dari instagram Jazz Poet Society |
Penampilan yang kami tunggu akhirnya tiba! Kawan kami Irfan Ilmy tampil membawakan puisi yang ia tulis khusus untuk idolanya, Mustofa Bisri atau Gusmus. Puisi berjudul "Dawuh yang Teduh" dan "Masa Depan Ingatan" dibawakan Irfan dengan tenang di hadapan penonton. Ini tentu bukan kali pertamanya membacakan puisi. Keberaniannya patut diacungi empat jempol.
Foto dari instagram Irfan Ilmy |
Sepulang dari acara tersebut, saya kepikiran kata-kata Irfan di buku puisinya, "Teh, ayo nulis puisi lagi!". Haha. Duh, rasanya memang sudah sekian purnama hiatus menulis. Terlebih puisi. Saya kira, acara malam itu jadi salah satu pemantik untuk menulis lagi.
Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar