09 April 2019

GIRL TALK (6): DITA

"Dita, stok alat tulis kantor ini kamu yang sediakan ya? Padahal ‘kan rencananya kita baru belanja akhir pekan ini," tanyaku memastikan. Ruangan kantor kami saat itu memang sangat rapi dan bersih. Beberapa alat tulis kantor sudah penuh terisi.
"Aku yang belanja kemarin soalnya gemes banget serba habis," Dita sang peri bersih-bersihku ini juga punya jiwa pengadaan barang rupanya. 
"Gak mungkin kamu sendiran yang belanja kan? Banyak banget soalnya," tanyaku
"Dibantuin Petra kok. Sendirian mah aku tak sanggup. Haha," jawab Dita ringan.
"Wait! Petra?" aku mengerlingakan mata ke arah Dita mencoba menggodanya. Aku tahu persis bahwa mereka berdua sedang dekat akhir-akhir ini. Dita dan Petra sudah lama saling kenal tapi Petra sempat dipindahtugaskan ke tempat kursus pusat di Jakarta. Baru tahun ini Petra kembali ke rumah belajar kami di Bandung. Rupanya, pertemuan kedua mereka ini berhasil menumbuhkan benih asmara di hati Dita. 

 "Petra akhir-akhir ini sering antar kamu kalau ada perlu, Dit. Perasaanmu disambut nih?" tanyaku usil. 
"Apa sih. Biasa aja," jawab Dita sambil meraih kursi di dekatnya lalu duduk dan perlahan meminum kopinya.
"Bagus atuh. Aku siap jadi kurir antar undangan, lho!" aku kembali menggoda Dita.
"Gak tau, Sil. Aku kok rasanya ingin menghindari Petra," suara Dita tiba-tiba melemah. Sepertinya berat sekali sesuatu yang sedang gemuruh di hatinya.

"Kok malah mundur, Dit? Bukannya dari awal kamu memang  suka sama Petra? Sekarang dia mulai nunjukin perasaannya juga ke kamu, lho," ujarku lirih.
Dita tak menjawabku. Ia sibuk mengaduk lagi kopinya sambil membuang pandang. Aku mencoba mendekatkan kursiku ke arahnya dan bertanya pelan-pelan.
"Petra udah ke rumah kamu?"
"Belum, Sil. Padahal dia menawarkan. Tapi rumahku kan lagi renovasi," jawabnya ringkas.
Aku tahu, renovasi rumahnya sebenarnya sudah hampir selesai. Jadi, rasanya tak masalah kalau Petra bertandang. Aku ingat bahwa ia juga pernah menolak tawaran Danis yang hendak ke rumahnya. Alasannya, halaman rumahnya sedang dirombak. Ah, entahlah, Dita selalu punya alasan fantastis untuk menolak lelaki yang akan datang ke rumahnya. 

"Maaf, Dit. Apa kamu takut mempertemukan Petra dengan keluargamu?" aku menerka. Erat aku menggenggam tangan Dita. Dia melirikku dan menarik napas panjang yang berat. Seketika ruangan ini dingin dan hening.  

"Aku kesal dengan diriku sendiri, Sil!" pekiknya tiba-tiba.
"Usiaku sudah kepala tiga. Tapi kok rasanya aku tak bisa beranjak dari hal lain selain masalah di rumahku, ya, Sil? Bapak dan Ibuku bertengkar terus. Abangku tak bisa kuandalkan tapi orang tuaku masih saja membelanya." Masih segar dalam ingatanku, Dita bertengkar hebat dengan kakaknya itu karena salah paham tapi orang tuanya justru mati-matian membela sang kakak lelaki. Hal itu membuat Dita sangat terpukul dan tak pernah betah ada di rumah. 

"Saat semua orang sudah bersikeras mengupayakan pernikahan, aku malah belum. Aku masih tercekal di rumahku sendiri. Gimana aku bisa melangkah memikirkan hal sakral itu jika aku belum selesai dengan diriku sendiri, dengan rumah dan orang-orang di dalamnya, Sil? Gimana?" tangis Dita seketika pecah. Aku mendekati Dita dan menawarkan pelukan. Aku paham, kondisi itulah yang membuatnya ragu menjalin hubungan dengan Petra. 
Ah, Dita, itu sungguh bukan salahmu. 

"Di saat seperti ini aku sempat ingin kehilangan Bapak dan Abangku saja, Sil. Rasanya lebih baik kalau aku tak pernah punya mereka," ujar Dita tiba-tiba.
"Dita! Jangan gitu! Kehilangan tak selamanya baik untukmu. Apalagi kehilangan figur orang tua atau salah satunya. Kamu mungkin justru makin merasa pincang dan tak sempurna. Tetap saja jiwa kamu akan berlubang besar!" aku naik pitam. 
"Aku menyinggungmu, ya, Sil?" tanyanya. Aku kira dia memang terluka sampai dia lupa bahwa aku, anak dari seorang ibu tunggal, juga terluka. 
"Sil, aku minta maaf. Aku gak bermaksud begitu," Dita balik memelukku.
Pertahananku kini rapuh juga. Aku ikut menangis bersama Dita. Sekian waktu kami sama-sama menyelami kesedihan hingga akhirnya aku berani angkat bicara. 
"Ada kenyataan yang memang bisa kita ubah dengan mengupayakannya dan ada pula yang benar-benar hanya bisa kita terima dengan penuh ikhlas dan lapang dada walaupun menyakitkan. Di poin kedua itu contohnya adalah orang tuamu, keluargamu; sesuatu yang membentuk ingatan masa kecilmu. Kamu boleh kecewa dengan itu. Kamu juga boleh sedih. Tapi kamu tak boleh merasa sendiri berjalan di memori yang kelam itu, Dit. Ada aku."
Dita masih memelukku saat aku kembali berujar.
“Kalau Petra adalah pilihan terbaik Tuhan buatmu, dia akan sepenuhnya menerima kamu. Tapi kalau tidak, aku yakin Tuhan sedang menyiapkan hal yang lebih indah buatmu. Sampai hal itu terjawab, baiknya kamu melapangkan dirimu dulu. Kamu berhak menerima kebaikan dari semesta selama kamu mau membuka hatimu atas beragam kemungkinan, Dit.”

"Kamu harus bahagia ya, Sil. Kamu pantas untuk itu," ujarnya.
"Kamu juga, Dit." Aku menambahkan.

Siang kami kali ini sungguh sendu. 


*Rada mewek sih ini nulisnya :'(
Terima kasih buat kawanku Miss N dan R. We are very strong, girls! Sini, peluk dulu! :)

0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.