16 April 2019

GIRL TALK (7) : PASCAL

Setelah sekian lama tidak berkunjung ke perpustakaan di bilangan Jatinangor, siang itu aku putuskan untuk ke sana. Kupikir, sudah waktunya otakku mendapat nutrisi dari buku-buku bagus di sana. Awalnya, aku sangat ingin mengajak Dira ikut ke sana. Ia sudah lama penasaran dengan perpustakaan dekat mal di Jatinangor itu. Tapi sepertinya ia memilih untuk pulang. Malam tadi ia menginap di rumahku untuk menenangkan hati. Semalaman ia menceritakan kegelisahannya tentang Rintan dan lagi-lagi tentang Pascal.

Memasuki gerbang perpustakaan, hiruk-pikuk pengunjung mulai terlihat. Kursi-kursi yang terletak di teras sudah dipenuhi pengunjung yang sedang diskusi. Memasuki ruangan, beberapa orang tampak duduk lesehan dan membuat lingkaran kecil. Di sudut ruangan terdapat pojok berisi kliping-kliping di dekatnya terdapat level kecil dari kayu untuk duduk lesehan. Di sana, ada sesuatu yang mengejutkanku.

"Pascal?" sapaku pada lelaki di sudut itu. Aku sempat ragu bahwa sosok itu adalah laki-laki yang sudah lama jadi "buronan" Dira. Lelaki itu kemudian menoleh dan tersenyum canggung. Tepat! Itu Pascal.  Aku lantas menghampirinya.
 "Hai, Pascal! Dari mana aja ih?" tanyaku ramah untuk membuka percakapan.
Aku menangkap raut kaget di wajahnya. Tapi ia segera mengatasinya. Ia merapikan dulu kliping yang sedang ia baca itu. Aku bersyukur Dira tak jadi ikut ke perpustakaan ini. Aku tak bisa bayangkan bagaimana perasaannya bertemu Pascal secepat ini.
"Semedi, Sil!" jawabnya singkat sambil tersenyum kecil. "Skripsi saya kan belum beres. Ah, tahu lah. Banyak ngulang. Sempat cuti juga. Kuncen kampus nih," lanjutnya. 
"Semedi di gunung Hua Kong? Sakti dong nanti," candaku. Dia membalas tertawa.
"Sakti banget, Sil. Sampai gak ada yang tahu kan saya di mana," ujarnya. Pernyataannya itu sesungguhnya membuatku mulai ingin bicara banyak.
"Iya, Cal. Kamu kayak ninja. Menghilang gak ada yang tahu," timpalku. 
"Kamu juga menghilang dari Dira, Cal," lanjutku dengan wajah serius. Pascal tampak diam dan bingung mencari jawaban. Sesaat kemudian ia mulai bersuara.
"Kayaknya saya berpkir ulang buat terus bareng Dira, Sil. Dira butuh orang yang lebih baik dari saya,” jelasnya. Sungguh, dalam hati aku mengumpat "Euh, ieu jelema!".

"Tolong jawab jujur ya, Cal. Kamu mundur karena Dira hampir selesai studi magister kan? Terus, dia juga sekarang sering bantu proyek dosennya gitu. Itu semua 'mengancam' kamu kan?" tanyaku membludak seperti menginterogasi tahanan.
"Enggak sih," jawabnya singkat.
"Enggak salah maksudnya?" aku bersikeras.
"Senang kok dia berprestasi. Dia memang cerdas. Pantas kok dapet kesempatan kayak gitu," Pascal sangat diplomatis memberi jawaban tapi aku tak mau terpengaruh.
"Tapi?" desakku pelan.
"Ya, sejujurnya saya takut, Sil. Saya takut kalau di masa depan dia malu partner-nya kayak saya." 
Duh, lagi-lagi batinku teriak "Makan tuh gengsi. Sanguan!". 
"Aku kok kasian sama kamu, Cal. Apa kamu gak tersiksa dengan semua pemikiran itu? Dira nerima kamu lho. Mulai dari kekurangan sampai kelebihan kamu. Tapi kok kamu enggak?" jelasku dengan sangat hati-hati. Aku ingin sedikitnya Pascal paham perasaan Dira.
"Dia sama sekali gak masalah dengan status studimu. lho, Cal. Dia malah mau bantu kamu kan? Dia gak pernah mempermasalahkan hal-hal yang justru orang lain nyinyirin ke kamu," lanjutku.
"Semakin dia berlaku begitu saya semakin merasa harus menjauh, Sil," timpalnya singkat.
Aku mulai kehilangan kata-kata. Rasanya memang tak bisa memaksa Pascal untuk tetap bertahan dengan kondisinya yang serba bimbang begini.
"Setidaknya saya mau selesaikan dulu urusan saya, Sil. Kuliah dan pekerjaan saya. Biar saya lebih mapan dan kuat," tambahnya
Akhirnya, aku sungguh tak bisa berkata banyak. Segera saja aku menyudahi percakapan dan melanjutkan tujuan awalku ke perpustakaan yaitu membaca. Setelah pamit dari Pascal, aku segera menuju sudut ruangan lain. 

Ah, sebenarnya aku sunguh paham bahwa orang-orang di sekitarnya melulu membebani Pascal. Tapi, kenapa lagi-lagi harus mengesampingkan diri sendiri demi memuaskan standar orang lain? Bukankah kita memang  tak pernah bisa memenuhi keinginan semua orang di muka  bumi ini? Kita adalah manusia yang lemah dan terbatas. Setelah percakapan tadi, aku benar-benar sedih mengetahui Pascal memilih menyerah atas dirinya sendiri dan mengorbankan Dira. 

Sekarang aku pun diserang kebingungan yang amat sangat. Aku tak tahu  bagaimana menyampaikan ini semua ke Dira. Bingung memberitahu bahwa mungkin lebih baik dia meninggalkan Pascal. 



0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.