18 April 2019

MENYEMAI BENIH LITERASI DI CICALENGKA

*Sebuah catatan reflektif atas buku Kang Deni Rachman, "Pohon Buku di Bandung" ,dari kacamata pegiat taman baca dan komunitas baca Cicalengka
**disampaikan di acara #BABUK (Bahas Buku) FLP Kabupaten Bandung, 14 April 2019 di Taman Baca Pohaci

Agar terdengar puitis dan tampak seperti aktivis pecinta lingkungan (layaknya Rara Sekar, idola saya :D), saya pakai istilah perkebunan juga "menyemai benih"; sebuah proses saat benih tanaman disebar di media tanam menuju pembibitan. Tentu ini pun berkaitan dengan judul buku Kang Deni yang mengandung unsur alam yakni pohon. Apa maknanya? Saya akan bahas sedikit demi sedikit. Kalem. :)

Toko buku alternatif, komunitas baca, perpustakaan, dan pelaku perbukuan adalah benang-benang yang sejatinya sudah saling berkelindan dalam gerakan literasi  di Kota Bandung. Dalam bukunya, Kang Deni pun menyinggung hal tersebut dengan sangat rapi. Kegiatan literasi di kota kembang, tentunya, tak bisa terjalin sempurna jika salah satunya tak ada. Semuanya saling memengaruhi. Pengaruh yang timbul rupanya tidak hanya terjadi di kawasan yang menjadi pusat yakni Kota Bandung. Pengaruh tersebut kemudian meluas sampai kawasan luar yang saya sebut kawasan satelit. 

Dalam tulisan ini, saya mencoba membuat peta sederhana mengenai gerakan literasi di kawasan suburban seperti Cicalengka. Relasi gerakan literasi kota-desa serta manusia-manusia diaspora akan sedikit saya singgung dalam tulisan ini. Selamat menikmati!

Kegelisahan Kolektif 
Secara garis besar, kehadiran toko buku alternatif pada era 2000-2009 didorong oleh kegelisahan kolektif tentang beragam pembatasan aspirasi. Selepas reformasi berakhir tahun 1998, publik mulai bisa bersuara dalam berbagai media yang tersedia. Di saat seperti itulah, toko buku-toko buku alternatif tumbuh dan memberikan suasana yang berbeda. Wadah-wadah literasi ini memberikan kesempatan kepada publik khususnya anak muda untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari buku-buku yang dahulu banyak dilarang. Toko buku-toko buku ini pun menyelenggarakan beragam diskusi yang membangun daya pikir kritis atas lingkungan sekitarnya. Toko buku alternatif hadir sebagai wadah untuk menyuarakan gagasan-gagasan dengan lebih demokratis. 

Di luar kawasan Kota Bandung, Cicalengka menjadi kawasan satelit yang tampak patut diperhitungkan geliat gerakan literasinya. Terutama, gerakan taman baca dan komunitas baca. Cicalengka kemudian menjadi versi "mini" gerakan literasi Kota Bandung karena memiliki kegelisahan kolektif seperti yang saya uraikan di atas.  Saya tidak berani menyebut waktu pertama munculnya perpustakaan atau taman baca di Cicalengka dengan pasti sebab saya sendiri belum melakukan riset atas itu (mungkin segera setelah diskusi ini. Amin). Namun demikian, saya melihat geliat literasi itu muncul berbarengan di Cicalengka dengan cukup berkesinambungan seiring sejalan dengan gerakan yang dirintis di Kota Bandung.  

Bandung adalah lahan pembibitan
Serupa dengan kegelisahan para pegiat literasi kota kembang pascareformasi,  taman baca yang digagas oleh pemuda kawasan satelit lahir dari rahim yang sama yakni kegelisahan kolektif. Barangkali, bedanya, kegelisahan di kawasan satelit bukan mengenai beragam pembatasan saat reformasi melainkan justru mengenai masyarakat yang sulit mengakses buku. 

Lantas dari mana kegelisahan para pemuda kawasan satelit seperti Cicalengka terhadap akses buku itu lahir? Tentu kegelisahan itu tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari sebuah pemikiran dan perenungan yang panjang. Dalam pengamatan saya, para pemuda yang menggerakkan roda literasi adalah mereka yang pernah bersentuhan dengan buku,  orang-orang yang bergiat dengan buku atau dengan kota buku yakni Bandung. Posisi Bandung sebagai pusat gerakan kemudian memberi dampak yang sangat besar. Ia ibarat lahan yang tepat untuk menumbuhkan benih menjadi bibit yang siap ditanam di lahan lain.

Sedikitnya terdapat beberapa alasan para pemuda Cicalengka ini bisa bersentuhan dengan gerakan literasi Kota Bandung yakni karena studi, pekerjaan, atau pindah tempat tinggal. 
Pertemuan mereka dengan gerakan literasi di Kota Bandung mengasah dan mempertajam kesadaran tentang literasi itu sendiri. 

Pak Agus Sopandi pertama kali menjejak Bandung sekira tahun 1987. Bertahun-tahun kemudian beliau ikut aktif dalam kegiatan seni sastra di Bandung bersama berbagai komunitas. Di kota kembang, beliau bertemu dengan komunitas sastra IAIN, kelompok teater ASTI, GSTTF Unpad, Ultimus, dan Tobucil. Pada tahun 2006 beliau pun harus kembali ke Cicalengka. 

Beberapa tahun setelahnya, geliat lain pun muncul. Saya sendiri mengenal gerakan literasi Kota Bandung terhitung tahun 2009. Saat itu, saya menjadi bagian dari diskusi pekanan  FLP Bandung di selasar timur masjid Salman ITB. Acara yang diberi nama Kamisan itu berhasil mempertemukan saya dengan komunitas lain seperti Asia Africa Reading Club dan Majelis Sastra Bandung. Kurang lebih enam tahun guliran itu saya ikuti hingga akhirnya saya harus kembali ke Cicalengka karena rangkaian perjalanan studi  saya selesai. 

Irfani Wira Bhakti dan Ryan Anggara dari Senjakala Pustaka merupakan generasi kiwari yang juga mendapat pengaruh literasi dari Kota Bandung. Tergabung dalam komunitas perpustakaan jalanan membuat duo pemuda ini terpantik menggagas hal serupa di tanah kelahiran. 

Kawan-kawan lain seperi Yoga Adi Pratama (TBM Pohaci), Agus Akmaludin (Saung Baca Renaissance) dan Cucu Siti Solihat (TBM sudut Kampung) pun punya cerita serupa mengenai persentuhannya dengan gerakan literasi Kota Bandung sebelum akhirnya harus kembali ke Cicalengka.

Kembali ke Cicalengka
Setelah masa pembibitan di Kota Bandung itu selesai, saya dan para pemuda kawasan satelit ini akhirnya kembali ke Cicalengka. Tentu kami tidak kembali dengan tangan kosong.  Kami membawa bibit siap tanam berupa semangat membuat gerakan literasi serupa dengan Kota Bandung namun bercita rasa lokal dan dengan beragam penyesuaian. Hal tersebut tampak ditandai oleh kelahiran rumah Baca Kali Atas. Tahun 2013, Pak Agus mendirikan Rumah Baca Kali Atas pada tahun 2013 setelah sebelumnya menggagas komunitas kesenian dan sastra. Rumah baca ini memiliki titik fokus pada pengembangan literasi anak-anak. Selain itu, juga menggagas beragam diskusi sastra untuk kalangan remaja dan dewasa. 

Tahun-tahun berikutnya, sekira tahun 2016, taman baca yang digagas anak muda lainnya tumbuh bersamaan. Awal januari 2016, Saung Baca Renaissance digagas Agus Akmaludin dengan basis pesantren. Kemudian, pada Agustus 2016, sebuah taman baca di sudut wilayah Cicalengka berdiri, yakni Taman Baca Sudut Kampung. Lokasi yang dekat dengan kawasan konservasi Gunung Masigit Kareumbi ini membuat Taman Baca Sudut Kampung fokus pada isu lingkungan. Masih di tahun yang sama, Taman Baca Pohaci di Desa Nagrog lahir. Digagas oleh para pemuda yang gemar berkesenian, taman baca ini memiliki ciri khas seni, budaya, dan pendidikan. Pada awal tahun 2017, Senjakala Pustaka lahir dengan semangat menjemput bola yakni aktif menggelar lapak baca di tempat-tempat strategis di Cicalengka. 

Tahun 2018, tidak hanya taman baca yang lahir tapi juga  komunitas baca. Taman baca yang lahir di tahun itu adalah Taman Baca Uthara asuhan Lia Yulia dan Teh Dyah Wulandari. Taman baca ini  juga fokus pada pendidikan anak. Komunitas baca yang lahir di tahun 2018 di Cicalengka adalah Konde Sartika Cicalengka dan FLP Kabupaten Bandung. Komunitas Konde Sartika Cicalengka lahir setelah Duta Perpustakaan Jawa Barat tahun itu, Inggri Dwi Rahesi, berhasil menggagas sebuah forum baca khusus perempuan di berbagai wilayah.  Kemudian pada Mei 2018, FLP Kabupaten Bandung lahir. Forum yang merupakan bagian dari jejaring nasional Forum Lingkar Pena ini mengedepankan kegiatan baca seperti diskusi sastra dan bedah buku. Kemudian, tentu saja tukar ilmu kepenulisan. Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang saya dan Laila dapatkan dari forum serupa di FLP Bandung dan di forum literasi lainnya di Kota Bandung (dan Yogyakarta). 

Benih yang terus tumbuh di lahan sederhana
Akhirnya, membaca buku Pohon Buku di Bandung karya Kang Deni, seperti kembali membaca muasal gerakan literasi di Cicalengka. Lebih jauh, seperti mengingatkan bahwa gerakan literasi ini tak berjalan sendirian. Saling kait antara individu, komunitas, hingga regional memungkinkan gerakan semacam ini terus tumbuh dan meluas. Kang Atep pernah berkata, kemungkinan semacam itu dapat terjadi sebab terdapat manusia "ulang-alik" di dalamnya. Manusia yang dimaksud adalah manusia-manusia yang secara dinamis melakukan pergerakan urban, sebuah tindakan berpindah dari desa ke kota. Mereka berdiaspora dengan lingkungan tempatnya yang baru. Mereka bersentuhan dan menyerap intisari gerakan literasi itu. Namun demikian, mereka tak serta merta melupakan asal. Mereka pulang ke tanah kelahiran dan menebar benih kesadaran itu di tempat asalnya. Tentu akan sulit membuat kesamaan yang menyeluruh antara gerakan di kota dan di desa tapi, setidaknya, gerakan ini akan sama-sama berlangsung dan terus tumbuh. 
Meski di lahan yang sederhana. 

Semoga benih literasi tersebut terus tumbuh menjadi pohon yang kuat seperti pohon-pohon buku di Kota Bandung.:)

Tabik! 

6 komentar:

Unknown mengatakan...

Ciamik Ambu. Pok torolong macana. Andai bisa sepiawai ini menulis. :)

diyday mengatakan...

wah, lengkap euy. selanjutnya dikembangin jadi buku Pohon Buku di Cicalengka nih :D

Nurul Maria Sisilia mengatakan...

Huwaaaa....Dyah! Amin, amin. Semoga yes. Mohon sarannya. Hihi

Nurul Maria Sisilia mengatakan...

Nuhuuuuuun. Kasih nama atuh kalau mau komentar teh. Biar enak pas kusapa. Untung kenal. Haha

diyday mengatakan...

aamin!

Deni Rachman mengatakan...

Aamiin. Tulisan awal menelisik sejarah komunitas buku di Cicalengka. Semangat menanam dan merawat buku, Nurul dkk. 🌱✊

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.