20 September 2019

HABIBIE DAN BOCAH ESKIMO

Anak ini akhirnya kembali masuk sekolah setelah berhari-hari jatuh sakit. Menjelang  ujian kenaikan kelas bocah perempuan ini sering sakit satu minggu. Jika sedikit saja dihinggapi lelah, anak ini juga pasti akan jadi langganan dokter anak. Itulah mengapa anak ini tak pernah lepas dari jaket tebal dan kaus kaki panjang. Kawan-kawan sekelasnya tahu persis keadaannya maka mereka cukup menerima kondisi si bocah. Bahkan, jika ia sakit, kawan-kawannya satu kelas ramai-ramai menjenguk. Namun tak semua anak menerimanya. Hari itu, ia tak ikut pelajaran olahraga dan hanya diam di pojok halaman sekolah. Seorang anak laki-laki mengejeknya yang berjaket tebal serta berkaus kaki panjang itu dengan sebutan "pesepak bola Eskimo". Ia membalas kata-kata itu tapi tetap dibalas ejekan lain. Kesal, ia ambil kerikil dan melempari anak menyebalkan itu sambil menangis. 

Kekesalannya berbuntut panjang. Ia geram pada anak menjengkelkan itu juga geram pada dirinya sendiri. Ia kesal karena tak bisa tumbuh seperti anak-anak lainnya; sehat dan kuat. Oh iya dia juga sedih karena ia tak setinggi anak lainnya. Ia sedih karena ia lemah hingga bisa ditertawakan anak lain. Ia bawa kesedihannya ke rumah lalu ia ceritakan kepada ibu dan kakeknya. 
"Tak apa tidak tinggi, pakai jaket, dan pakai kaus kaki panjang terus. Yang penting pintar seperti Habibie,"  Jawab ibunya yang baru pulang dari pabrik kala itu. 
"Iya, Habibie berperawakan kecil tapi 'otak semua'," Kakeknya melanjutkan. 
Di benak kecilnya ia paham, bahwa sosok yang sedang dibicarakan ibu dan kakeknya itu terbilang cerdas dan kecerdasannya mengalihkan perkara lain yang sebenarnya remeh. Sosok itu bersinar dengan kekuatannya dan membuat orang lain tidak begitu memandang kekurangannya.  Sejak perbincangan itu, ia jadi ingin memandang hal-hal yang ia mampu dan menerabas semua kelemahan dirinya. Ia lemah tapi tak ingin membiarkan kelemahannya itu berlarut-larut melemahkannya. Ia ingin fokus pada hal yang membahagiakannya saja; buku, majalah, sahabat bermainnya, dan hal-hal menarik lainnya.

Karena sakit, tak banyak yang bisa anak rapuh ini lakukan di rumah selain menonton kartun yang diputar maraton di TV lalu melahap buku dan majalah pemberian ibu dan kakeknya. Sayup-sayup ia mendengar lagu seorang penyanyi cilik diputar di TV sore itu. 

"Cita-citaku ingin jadi profesor. Bikin pesawat terbang, seperti Pak Habibie…"

Ia kembali ingat petuah ibu dan kakeknya agar tumbuh cerdas seperti sosok Habibie. 
Ah, ia tidak benar-benar ingin jadi profesor dan membuat pesawat terbang, memang, tapi ia telah menemukan impiannya yaitu ingin menuliskan cerita tentang anak yang naik pesawat dan pergi ke luar angkasa. Ia ingin menulis cerita petualangan setelah membaca buku R. A Montgomery dan mulai tertarik tentang segala hal berbau antariksa. Ya, ia ingin menjadi penulis cerita anak, katanya. 

Sejak saat itu, ia tak pernah lepas dari buku dan alat tulis juga alat gambar. Ia punya buku khusus untuk menulis ceritanya sendiri disertai gambar aneka warna. Ia juga punya lingkaran pertemanannya sendiri yang sama-sama suka menulis cerita.

Di akhir masa sekolah dasar, ia pun tumbuh jadi anak yang lebih sehat. Anak ini pun pelan-pelan semakin kuat dan tak lagi jadi langganan dokter anak melainkan langganan rangking di kelas. Ia tumbuh begitu kuat hingga bisa tegap berdiri di panggung sebuah lomba sambil memeluk piala kemenangan pertamanya. Ia menjadi juara lomba menulis  tingkat sekolah dasar untuk pertama kali dalam hidupnya. 

Ah, sosok itu teramat menginspirasi. Ia bukan sekadar nama melainkan cita-cita bagi anak-anak yang lahir dan tumbuh pada eranya. Anak-anak yang mencintai ilmu pengetahuan, gemar membaca dan menulis, senang mencari tahu, dan tentu saja peduli sesama. Anak-anak di masanya itu, saat dewasanya kini, tumbuh menjadi anak-anak yang punya cita-cita yang tinggi, mimpi yang luas, dan harapan yang tak terbatas. Begitu pula dengan si anak yang berpenampilan seperti suku Eskimo itu. Setidaknya, sang anak mulai paham bahwa semua mimpi mesti diupayakan agar suatu saat bisa mengangkasa. 

Saat kabar mengenai kepergian Pak Habibie itu tiba, sang anak yang dulu berdiri di panggung itu kini merasa kehilangan tokoh inspirasinya semasa kecil. Ia kehilangan tokoh yang kuat berdiri sebagai pemimpin besar dan juga pembelajar. Ia tengah berduka namun begitu berusaha menyelesaikan tulisan ini dalam tantangan #writingthon. Anak itu kini sedang turut  meramaikan langit dengan doa. Ia berharap bisa seperti sosok inspirasinya itu; pergi dengan ribuan doa dan meninggalkan banyak kebaikan.

"Selamat jalan, Pak. Terbanglah lebih tinggi. Kau kekal dalam ingatan kami!"


Tertanda,
Pemain bola dari Kutub Utara yang memeluk haru piala pertamanya kala itu. 



1 komentar:

Barracuda Essen mengatakan...

Thanks for share, kunjungi juga http://bit.ly/2FS7ctS

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.