Siang itu, Pak Agus Akmaludin mengumumkan penghargaan bagi guru-guru di SMP Djuantika. Hasilnya murni dari penilaian siswa kelas 7, 8, dan 9. Ada dua kategori dalam penghargaan itu. Pertama, guru terbaik. Poin penilaiannya adalah kedisiplinan, penyampaian materi pelajaran yang baik, dan mata pelajaran yang disukai siswa. Kedua, guru terfavorit. Poin penilaiannya satu saja: guru yang disukai siswa. Saya kira, kategori pertama adalah kriteria untuk guru pelopor, unggul, dan profesional sementara kategori kedua adalah untuk guru pikawatireun. Sungguh mengejutkan karena saya diganjar guru favorit pilihan siswa. Apakah karena memang saya pikarunyaeun? Haha.
Tak seperti Pak Rifal, peraih kategori guru terbaik, saya akui memang tak penuhi poin penilaian itu dengan sempurna. Saya mengakui tak cukup mampu memberikan seluruh perhatian pada sekolah. Terlebih saat memasuki masa perkuliahan, saya bahkan lebih banyak bolos karena harus "mendua" -bahkan tiga- dengan kampus Jenderal (dan Sultan. Wkwk). Urusan datang tepat waktu, jangan ditanya lagi. Jarang terjadi! Haha. Sudah lelah duluan karena sebelumnya harus kakaretaan. Ya, beruntung karena akhirnya bisa dijemput Byson Pak Rifal jadi bisa datang tepat, sih (Nuhun sa-Bandungeun, Pak! :D). Apalagi? Banyak! Banyak sekali hal yang membuat saya merasa kerdil dan makin merasa tak layak dengan penghargaan serupa itu. Maksud saya, hingga merasa benar-benar tak perlu ada nama saya di situ. Saya malu dengan semua kekurangan saya dalam mengajar anak-anak. Namun, ternyata mereka pula yang memutuskan. :')
===
Saya ingat suatu hari saat hendak mengajar kelas 7. Seorang siswa datang ke kantor dengan tergesa. Ia bilang, "Bu, anak-anak perempuan kelas tujuh nangis!". Mendengar itu saya kaget dan bertanya kenapa. Jawabnya, "Ada yang bilang Ibu gak akan ngajar di sini lagi". Saya telusuri mengapa sampai ada dugaan semacam itu. Rupanya, hal itu karena ada dua guru baru yang ikut bergabung dengan SMP Djuantika. Mereka berdua mengajar Bahasa Inggris, mata pelajaran yang saya ampu bertahun-tahun. Kebetulan, sudah beberapa pertemuan pula saya tidak masuk karena bentrok dengan jadwal UTS di kampus. Kenyataan itu membuat mereka berpikir bahwa saya tidak akan hadir selamanya. Saat masuk kelas, iseng saya katakan "Kan sama aja guru mana pun yang masuk". Mendengar itu rupanya mereka protes karena menurut mereka saya lebih sabar membimbing mereka di kelas. Akhirnya saya terangkan bahwa saya tidak akan pergi. Saya hanya bertukar jadwal mengajar.
Setelah kelas usai, saya tarik napas panjang. Ragam kesadaran bertubrukan di kepala. Apa benar saya telah sesabar itu di kelas hingga saya layak mereka tangisi? Di sisi lain, saya merasa dirindukan padahal di sisi yang sama saya tak pernah sempurna menemani mereka. Saya merasa demikian diterima padahal di titik yang serupa saya belum mampu seutuhnya memahami mereka. Namun demikian, satu hal yang kemudian tumbuh dan menjadi kekuatan tersendiri: saya merasa berharga.
Akhirnya saya paham bahwa terpilihnya saya di kategori kedua pun adalah karena alasan yang lebih emosional. Saya sadar bahwa saya tak pernah punya banyak hal yang bisa diberikan sebab kekurangan saya melampaui yang sebenarnya tampak. Namun demikian, semua akhirnya memang pantas dapat tempat. Kehadiran emosional itu semoga berdampak baik bagi mereka.
Ah, saya jadi berkaca dan makin merasa malu. Bagaimana bisa saya berpaling sementara telah sedemikian mereka membuat saya merasa dicintai. Saya lantas berdoa semoga Tuhan selalu memberkahi langkah saya dan memberi saya kekuatan sehingga masih bisa memberi kebaikan buat mereka. Semaksimal yang saya bisa.
They accept you the way you are, they respect your imperfection perfectly, they love you as you always do. So, what is the most precious feeling in this world than knowing that you're loved.
So loved.
"I do love you all, Kiddos!
Thank you"
(Mereka menerimamu apa adanya, mereka menghargai ketidaksempurnaanmu dengan sempurna, mereka mencintaimu seperti yang selalu kau lakukan. Jadi, apa perasaan paling berharga di dunia ini selain mengetahui bahwa kau dicintai.
Sangat dicintai.
"Saya sangat menyayangi kalian, anak-anak!
Terima kasih")
*OKE STOP. Mata saya banjir! :(
3 komentar:
Kata-kata terakhir mah kuduna, "Mata aink banjir!" Hahaha
Wih, keren euy ^^
Selamat, ya, Nurul! Semoga lebih semangat lagi dalam mengajar :d
Cie, cie, ada yang bilang "ketje" ;)
Ruar biasa sabandungen, bu. Chuka hamnida!
Posting Komentar