04 Mei 2011

Mata Kaca II


Entahlah, mengapa saat ini saya begitu mencintai benda yang bertengger di wajah saya. Benda ini seakan menjadi etalase bagi retina saya yang tak lagi sempurna. Benda ini menyempurnakan indera yang terkikis radiasi dunia dan seisinya. Sebutlah ia sebagai kaca mata!
Seringkali orang lain berkata bahwa berkacamata itu perkara gaya. Akan terlihat nerdy dan trendy jika mengenakan benda ini. Sayangnya, saya berani menjamin bahwa urusannya tak sesederhana itu. Apalagi jika kacamata yang digunakan memang bukan kacamata 'gaya', kau harus setia memakainya. Percayalah.
Perjalanan bersama sang kacamata dimulai ketika saya menginjak bangku SMA kelas X. Saat itu, sang indera penglihat tampak kurang bersahabat. Setelah diperiksa di sebuah optik sederhana di dekat rumah, mata kanan saya divonis silindris sedangkan mata kiri saya normal. Aneh memang. Lalu, jadilah saat itu saya berkacamata. Kaca mata ber-frame biru muda dengan lensa agak persegi menjadi kacamata pertama saya.

*Mata silindris berbeda dengan mata minus. Bedanya? Ehm... lihat saja gambar berikut ini:


gambar di atas adalah kondisi mata minus ketika melihat jarak jauh.


nah, gambar di atas adalah kondisi mata silindris saat melihat jarak jauh. berbeda bukan?




Waktu berjalan cukup lama, setahun kemudian saya merasa kurang nyaman dengan mata saya. Saya mulai merasa terganggu. Oleh karenanya, saya berangkat ke Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung untuk diperiksa. Ternyata mata sebelah kiri saya ikut-ikutan bermasalah. Minus satu, katanya. Mungkin hal itu terjadi sang mata kiri karena terlalu berat menyeimbangkan kepayahan sang mata kanan. Mungkin saja.
Karena kacamata pertama saya sudah mulai tidak nyaman, saya pun mengganti kacamata saya dengan yang baru. Kali ini, kaca mata dengan frame berwarna hitam menjadi kacamata kedua saya.
Selanjutnya, saya dan kacamata kedua saya menatap dunia dalam jangka waktu yang terhitung awet tanpa aral berarti. Namun sebuah peristiwa terjadi. Kala itu ujian nasional tengah berlangsung. Saya masih ingat saat itu UN sastra indonesia (karena saya duduk di jurusan Bahasa saat SMA). Entah bagaimana caranya tiba-tiba lensa sebelah kanan kacamata saya lepas dari frame-nya! Saya pun sadar, kacamata ini pernah terbentur dengan lantai alias jatuh. Bayangkan bagaimana tersiksanya mengerjakan soal UN dengan sebelah mata karena mata sebelahnya lagi tak bisa diajak kompromi untuk melihat huruf dengan baik. Saya berupaya memegang lensa sebelah kiri agar tak ikut jatuh. Di saat bersamaan, saya harus membalik halaman soal. Perjuangan yang sungguh tak terperi! ckck..
Deritanya lagi, saya merasakan pusing yang tak terkira saat mata saya tak berkacamata. T___T;
Setelah selesai ujian hari itu, saya segera menuju optik. Letaknya memang tidak terlalu jauh, berada di alun-alun Cicalengka. Sekira lima menit dari rumah. Semula, saya berniat menuju optik yang pertama kali saya kunjungi. Sayangnya saat itu optik tersebut tutup.
Di optik inilah, kacamata ketiga saya dapatkan.
Kacamata saya yang ketigalah yang menemani saya melewati masa kelulusan SMA, masa SNMPTN, masa MIMOSA (semacam ospek), dan masa-masa kuliah. Kurang lebih tiga tahun kacamata ini setia mendampingi saya.
Tahun 2010, saya bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Thifan Po Khan Tsufuk, divisi Puteri Gading. Semacam UKM beladiri muslim untuk perempuan (Tsufuk untuk laki-laki, Puteri Gading untuk perempuan). Ketika itu, untuk pertama kalinya saya melakukan turgul (semacam sparing, atau berkelahi). Sayangnya, saya tidak pandai menyerang. Saya lebih memilih bertahan. Alhasil, saya kena ttinju di wajah. Kacamata saya terpelanting ke tanah. Turgul pun selesai. Saya segera meraih kacamata saya. Oh, tidak! kacamata saya bengkok. Saya memang berniat memperbaikinya, tapi saya harus menunggu karena belum tersedianya dana. Maka dengan keprihatinan yang teramat sangat, saya harus mau dan mampu bertahan dengan kacamata itu. Bagi saya itu lebih baik daripada tidak berkacamata.
Namun suatu hari kacamata itu hilang! Dimana? Kapan? Saya tidak tahu. Saya pun benar-benar tidak berkacamata. Malang sekali mata saya selama berminggu-minggu itu.
Setelah sekian lama, akhirnya saya mendapatkan kacamata saya yang baru. Genap sudah, ini adalah kacamata saya yang keempat. Setelah ini saya tidak mau kehilangan lagi.


Inti dari apa yang saya sampaikan adalah syukuri dan jaga nikmat sehat dalam tubuhmu (dan tentu saja matamu!). Jangan pernah berpikir bahwa kacamata minus atau silindris adalah gaya dan berkacamata adalah tuntutan masa. Kau akan tersiksa jika tahu kebenarannya. Namun, jika matamu terlanjur berkaca maka hal penting yang harus kau jaga adalah satu hal. Kacamatamu! \^o^/
Entahlah, mengapa saat ini saya begitu mencintai benda yang bertengger di wajah saya. Benda ini seakan menjadi etalase bagi retina saya yang tak lagi sempurna. Benda ini menyempurnakan indera yang terkikis radiasi dunia dan seisinya. Sebutlah ia sebagai kaca mata!
***Apakah tulisan ini agak lebay? hehe...***
^_______^v

0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.