Oleh : Nurul M.
Sisilia (FLP Bandung)
Komunitas bukan segalanya, namun segalanya butuh komunitas.
Tampaknya itu yang bisa disimpulkan dari beragam efektivitas berkomunitas.
Seseorang, pada hakikatnya, tidak bisa lepas dari berhubungan dengan orang
lain. Ia adalah makhluk sosial yang memerlukan keberadaan orang lain. Itulah
alasan seseorang butuh berkelompok, berkomunitas misalnya.
Seseorang yang memiliki ketertarikan dengan dunia literasi
atau sastra perlu suntikan energi yang memadai agar mampu mengoptimalkan
potensinya. Dalam hal ini, komunitas kepenulisan merupakan wadah yang dirasa
tepat. Saya ingat ucapan Irfan Hidayatullah dalam sebuah pertemuan. Menurutnya,
komunitas adalah tempat untuk saling transfer energi: ilmu dan semangat. Saya
setuju, sebab di komunitas seperti inilah motivasi biasanya bermunculan dengan
liar. Kita akan merasa termotivasi untuk membaca dan menulis saat bertemu
dengan orang-orang yang sedang begitu akrab dengan membaca dan menulis. Kita
pun akan begitu bersemangat untuk menerbitkan sebuah karya ke media massa saat
bertemu dengan orang yang telah mencicipi manisnya menerbitkan karya. Menurut
saya, inilah yang disebut atmosfer kompetisi yang positif. FLP pun hadir
sebagai komunitas literasi yang menjanjikan segenap fungsi berkomunitas.
Bandung dan laju waktu di dalamnya kemudian mempertemukan
saya dengan FLP Bandung. Di sana, saya
makin akrab mencicipi indahnya belajar bersama. Kurun waktu tiga tahun di sana
rasanya masih terlampau muda untuk menerjemahkan forum ini. Saya masih
melangkah, masih menapak. Belum menjejak. Tapi tak mengapa, bukan? Dalam kurun
wakttu tersebut saya berani mengartikan FLP ternyata lebih dari sekadar
komunitas: bagi saya, pun hidup saya.
Menurut saya, FLP menjanjikan segenap fungsi berkomunitas dalam bingkai
romantisme.
Romantisme
FLP adalah "Lingkaran" yang Ideal
Bercita-cita mengakrabi sastra sempat membuat saya kelimpunngn
mencari komunitas. Paradigma bahwa sastra dibangun dari kumpulan orang-orang Bohemian
membuat saya ciut dan kalut. Ah, ternyata tidak! Setelah pencarian yang syahdu,
saya seakan menemukan oase. Dosen sastra saya, Nenden Lilis, memberikan nomor
kontak FLP Bandung (nomor Sri Al Hidayati
dan Wildan Nugraha) di akhir sebuah perkuliahan. Dari sanalah, semua
kisah bermula dan bergulir bagai jalan keluar yang melegakan. Akhirnya saya
bertemu dengan lingkaran itu di selasar timur masjid Salman ITB.
Beriringan dengan lingkaran ini, saya melihat FLP Bandung tumbuh bukan sekadar dengan membaca dan
mennulis melainkan juga sastra. Hal itu membuat saya
menemukan sebuah Aha! Moment, “Inilah diri saya!”. Saya menemukan
hubungan yang harmonis antara saya dan sastra dari “Teater Embun" rintisan
Topik Mulyana, musikalisasi puisi “Kapak Ibrahim” rintisan Adew Habtsa dkk, dan
pesona filmografi dari Hendra Veejay. Semua ranting sastra melengkapi
kerimbunan FLP. jadilah FLP ibarat pohon
yang rindang dan meneduhkan. Kerimbunan
inilah yang kemudiaan saya
istilahkan sebagai sesuatu yang ideal. Ditambah lagi, nilai humanis dan relijius
menjadi akar yang menutrisi semua organ. Inilah yang kemudian membuatnya kokoh
dan teguh.
FLP seakan begitu ideal dengan sastra dan literasinya. Oleh
sebab itulah, saya merasa mantap dengan lingkaran ini. Mantap pula mengukuhkan
cita-cita sebagai muslim sastrawan.
Kemudian FLP, bagi saya, menjadi sempurna dan menyempurnakan saya.
Romantisme
FLP adalah Rona
Seni rupa mengartikan romantisme sebagai sebuah aliran yang
ditandai adanya kontras cahaya yang
tegas, kaya dengan warna dan komposisi yang hidup. Agaknya, FLP pun memberikan
hal yang serupa. Orang-orang dalam komunitas ini terdiri atas individu yang
beragam profesi, latar belakang, dan keilmuan. Keberagaman ini adalah warna
yang memesona. Di sini tidak ada dominasi warna, semua berbaur dan menjadi pelangi.
Artinya, semua orang di lingkaran ini adalah istimewa dengan segala potensi dan
kesederhanaannya.
Dari keberagaman ini pulalah timbul budaya berbagi ilmu.
Masing-masing individu di sini memiliki “guru yang banyak”. Maksudnya, sering
melakukan diskusi sederhana yang di dalamnya terdapat proses saling serap ilmu,
motivasi dan inspirasi. Belajar dan mengajar, dilatih dan melatih, dibina dan
membina. Hal ini yang membuat seseorang bisa bertahan dalam kelompok. Pun saya.
Romantisme
FLP adalah Ekspresi Cinta dan Kasih Sayang
FLP kemudian menjadi semacam ungkapan yang begitu ekspresif,
bahkan impresif tentang makna kebersamaan. Saya menemukan sahabat-sahabat yang
begitu tulus. Ikatan antar individunya pun kini menjadi lebih dekat dari sekadar
sahabat: keluarga. Keluarga literasi.
Kamisan adalah ruang ekspresi cinta dalam bentuk bebeda,
menurut saya. Kamisan yang digelar sebagai kegiatan rutin seminggu sekali di
kala senja ini seakan menjadi tempat rehat paling bersahabat dan paling hangat
setelah beragam kepenatan mendesak-memabukkan. Di inilah, keluarga literasi ini
bertemu dan bertukar kebahagiaan. Dalam kamisan, saya bertemu dengan
orang-orang yang membaca. Mereka yang membaca ini selalu mampu menularkan
energi bacanya. Tak usah rumit berteori, mereka yang membaca ternyata telah
lebih paham bagaimana seharusnya teori itu hidup dalam kehidupan! Begitulah
kesannya.
Kamisan
pun mempertemukan saya dengan orang-orang yang begitu dermawan dan tak segan
membagi ilmu. Atmosfer ini tentu berbeda dengan bangku kuliah yang begitu
teoretis bagi saya –walau samaa-sama menyoal litersi dan sastra. Inilah
ekspresi cinta yang melankolis.
Selasar Salman ITB sore hari mendadak dipenuhi sastra
setiap kali kamis menjejak. Bahkan selepas kamisan, selasar Salman masih dihangatkan perbincangan akrab
tentang banyak hal. Keluarga literasi ini menghangatkan petang dengan
perbincangan seputar sastra, literasi, dan petuah kehidupan. Kamisan pun menjadi jeda yang produkif.
Entahlah, saya merasa selalu berjodoh dengan kamisan. Tidak
ada halangan berarti yang merintangi saya hadir di kamisan misalnya jadwal
kuliah atau jadwal mengajar. Sejak menyandingkan diri dengan FLP hingga saat
ini, waktu seakan selalu mempertemukan saya dengan kamisan. Ini bukan kebetulan,
saya yakin.
Saling
Bertemu
Menyetiai FLP kemudian menjadi kebutuhan, bukan tuntutan atau
keharusan. Ya, lepas dari jabatan
sebagai 'pupuhu’ Pengaderan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) atau
apapun namanya, saya merasa bahwa menyeriusi FLP adalah sebuah keseharian atau
kewajaraan. Ibarat napas yang aktivitasnya tak mesti ditentukan, ia berjalan
wajar dan lancar tanpa sadar.
Entahlah,
saya lalu merasa bahwa bukan saya yang
menemukan FLP, melainkan FLP yang berhasil menemukan saya. Atau lebih dari itu!
Mungkin kami saling bertemu. Saya menemukan FLP dan FLP mempertemukan saya
dengan diri saya.
Pada sebuah kesadaran tertentu, saya mengibaratkan relasi
antara saya-FLP bukan lagi tersekat "dan", sebuah makna sertaan yang
setara, melainkan "adalah", makna representif dan definitif. Artinya,
FLP telah dengan syahdu menjadi bagian dari diri saya. Ya, hal itu terjadi mungkin
karena di lingkaran inilah Rabithah menjadi
begitu gema, begitu mengikat, dan begitu dekat.
Syukur tiada henti terujar begitu khidmat sebab Sang Mahacinta
memperkenankan saya menjadi bagian dari salah satu sisi lingkaran ini -meminjam
istilah Thareq Barasabha.
“Aku bersyukur dan berterima kasih sebab Engkau telah
mempertemukanku dengan lingkaran ini.” Pada akhirnya, pernyataan itulah yang mampu
saya ujarkan.
Alhamdulillah
wa syukurillah.
(Bandung,
Februari 2012)
2 komentar:
tulisan Nurul, selalu membuat siapapun ingin meneruskan membaca sampai habis
tidak berat di mata untuk membacanya,justru berat pada makna dan isinya
semangat calon sastrawan muslimah :)
@silmya:
trims, mia sang penulis masa depan! ;D
sastrwan muslimh? aamiin...amiin.. :)
Posting Komentar