Menurut pendapat Quraish Shihab, Idul Fitri memiliki makna
yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu
sendiri. Idul Fitri secara etimologi (kebahasaan) berarti hari raya kesucian
atau juga hari raya kemenangan, yakni kemenangan mencapai kesucian, fitri. Artinya, Idul fitri adalah momen peningkatan
kualitas dan kuantitas ibadah umat, bukan melegalkan konsumerisme. Hal ini
jelas bertentangan dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Kebiasaan membeli
aneka barang baru menjelang Idul Fitri seakan telah menjadi tradisi yang
mengakar.
“Momen Ramadhan dan Idul Fitri, masyarakat
lebih banyak membutuhkan uang di luar penghasilannya. Maka, selain tidak
menambah jumlah tabungan, masyarakat menambah uang dengan mengambil kredit bank
berupa kredit konsumsi,” kata Kepala Perwakilan BI Tasikmalaya, Isa Anshory.
Selaras dengan itu, Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
Ahmad Makruf menyatakan jumlah uang yang beredar di DIY selama Idul Fitri
ini sekitar Rp.83 miliar. Dari jumlah
tersebut kelompok masyarakat berpenghasilan rendah menjadi penyumbang
persentase peningkatan konsumsi. Diperkirakan, biaya hidup masyarakat miskin
meningkat hingga 45% untuk sekadar merayakan Lebaran. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumerisme masyarakat cenderung meningkat menjelang Idul Fitri.
Secara personal
konsumerisme untuk menjalankan suatu tradisi bukanlah sesuatu yang salah.
Namun, ada baiknya jika masyarakat mengatur konsumsinya secara bijaksana. Skala
prioritas kebutuhan perlu dibuat, tentu tidak perlu mengkonsumsi sesuatu yang
sebetulnya tidak dibutuhkan. Tradisi membeli buku baru yang bermanfaat agaknya
bisa menjadi tawaran yang baik untuk mengganti tradisi belanja yang berlebihan.
Telah diketahui
berbagai manfaat membaca buku. Manfaat tersebut antara lain sebagai latihan otak dan pikiran.
Membaca dapat membantu menjaga otak agar selalu menjalankan fungsinya secara
sempurna. Saat membaca, otak dituntut unutk berpikir lebih sehingga dapat
membuat orang semakin cerdas. Tapi untuk latihan otak ini, membaca buku harus
dilakukan secara rutin. Selain itu, membaca buku memungkinkan pembaca mengambil manfaat dari pengalaman
orang lain. Hal ini sangat baik untuk memproses ilmu pengetahuan maupun untuk mempelajari berbagai
disiplin ilmu dan aplikasinya dalam hidup. Artinya, membaca
buku yang bermutu pun merupakan investasi yang bermanfaat bagi manusia.
Kebiasaan membeli atau membelikan buku saat Lebaran berarti memberikan
manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, bagi kehidupan jangka pendek
maupun jangka panjang. Selain itu, kebiasaan ini menunjukkan respek yang
positif terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, kebiasaan ini bisa menjadi paradigma baru saat berjumpa
dengan Idul fitri. Harapannya, kita tidak lagi terperangkap dalam euforia
perayaan Idul fitri yang berlebihan.
Momentum Idul Fitri merupakan momentum yang diperingati bersama. Namun
akhirnya, kita tinggal memutuskan, Idul Fitri seperti apa yang akan dipilih:
bersifat konsumtif atau bersifat didaktif?
*) dimuat di Kampus Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar