Suatu hari seorang wartawan cantik program Lentera Indonesia Net TV bertanya alasan saya memilih bersedia mengajar di tempat yang sangat jauh dari kenyamanan daripada mengajar di kota besar yang menawarkan berlimpah kemudahan. Kemudahan yang dimaksud sang penanya adalah akses transportasi ke sekolah, fasilitas di sekolah, jabatan, dan bahkan honor. Singkat saja jawaban saya kala itu, saya ingin bermanfaat bagi orang banyak. Saya ingin benar-benar ada bagi mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan kehadiran saya. Mereka adalah orang-orang yang seringkali luput dari perhatian publik. Di situ, saya merasa keberadaan saya lebih diperlukan.
Di dalam bangunan sederhana ini, mimpi para siswa melangit |
Sebelum mengajar di Sekolah Rakyat Frekuensi, saya sempat mengajar di beberapa sekolah di Kota Bandung. Kondisi sekolah di sana terhitung nyaman dengan ruang kelas yang luas, bangku dan meja yang nyaman serta keberadaan fasilitas lain yang modern. Hal-hal tersebut sangat berbeda dengan kondisi di Sekolah Rakyat. Meja yang terbatas, ruang kelas dari gubuk kayu dan fasilitas lain yang sederhana adalah beberapa kondisi yang tampak di Sekolah Rakyat. Meski demikian, kenyataannya lagi, saya merasa bahwa mengajar di tempat yang jauh dari segala kemewahan serupa itu justru jauh lebih berharga. Yang dibina dan ditempa di tempat serupa itu adalah kelembutan jiwa seperti ketulusan hati, keikhlasan berbagi, kemauan memberi, pengorbanan, cinta dan kasih sayang. Semua hal itu, bagi saya, tak pernah bisa disandingkan dengan berapapun jumlah materi. Kaya bagi saya adalah kekayaan batin. Oleh sebab itu, tak pernah jadi soal jika saya tak pernah kaya secara fisik. Ketika jiwa saya penuh oleh kekayaan batin tadi, hidup saya jauh lebih "penuh". Sejauh ini, itulah yang saya peroleh selama mengajar.
Berjalan pulang bersama para siswa |
Orang besar, jiwa besar
Telah banyak teknokrat lahir, begitu pun aristokrat dan birokrat di negeri gemah ripah ini. Mereka adalah orang-orang besar dengan pemikiran besar, pandangan yang jauh ke depan, dan pemilik suatu keahlian yang disegani. Negeri ini tentu membutuhkan kehadiran mereka namun jauh dari itu negeri ini memerlukan kehadiran orang-orang yang berjiwa besar. Saya terharu menyaksikan orang-orang yang rela berkorban bagi kaum papa. Kalangan terdidik dan terpelajar yang sukarela menghibahkan dirinya untuk berbagi ilmu kepada masyarakat kecil tanpa pamrih. Mereka bersedia hadir di tengah masyarakat sederhana yang haus ilmu dan perlu perhatian akan kesejahteraan. Mereka, menurut saya, bukan hanya orang dengan pemikiran besar melainkan juga dengan jiwa yang besar. Saya hanya ingin jadi bagian kecil dari mereka. Bagian kecil yang ikut membuat sebuah perubahan sederhana bagi kehidupan.
Kunjungan kawan-kawan Komunitas 1000 Guru Bandung |
Berbuat sekarang
Saya sering bertanya pada diri saya sendiri: sejauh apa kemampuan saya mengajar hingga berani-beraninya menyebut diri sebagai guru? Saya sering merenung dalam-dalam karena pertanyaan saya itu. Tentulah bukan hal yang mudah menjadi sempurna namun bukankah ia tak akan pernah bisa diperoleh jika sama sekali tak diupayakan, termasuk mengajar. Atas kesadaran tersebut, saya putuskan tetap mengajar dan mengesampingkan pertanyaan keragu-raguan saya itu. Di saat itu, saya menyaksikan sebuah tayangan di televisi tentang seorang supir yang menyisihkan gajinya untuk membangun sekolah dan membina anak-anak di desanya. Saat menyaksikan tayangan itu, saya merasa ditampar sekaligus dikuatkan. Sang supir tentulah bukan sarjana pendidikan jebolan universitas keguruan namun ia bersedia mengabdikan diri untuk peradaban: pendidikan. Lantas saya bertanya pada diri saya lagi: apa saya harus menunggu hingga mendapat gelar paling tinggi di dunia akademik baru saya mau mengajar sementara ada orang-orang seperti pak supir itu yang telah lebih dulu memulai membina peradaban? Saya sadar bahwa saya tak harus bergelar tinggi bahkan sampai sekolah di luar negeri baru mau jadi pendidik. Bagi saya saat ini, hal kecil yang saya berikan kepada siswa-siswa saya akan lebih bermakna daripada hal besar yang saya pendam untuk diri saya sendiri.
Pose "Salam Cakep!" bersama siswa kelas VII |
Demikian kiranya alasan-alasan yang menjawab pertanyaan saya lebih memilih mengajar di Sekolah Rakyat. Lebih jauh, kiranya, hal itulah yang merupakan alasan saya bersedia bertahan dari segala kesulitan.
(Cicalengka, 22 Maret 2015)
*diedit dan diposting tanggal 17 April 2015)
3 komentar:
Artikel yang sangat bagus. Jadi terus tergugah untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Salam kenal.
Salam kenal saya Pradana, penulis buku "Praktis dan Mandiri Belajar Bahasa Jepang".
Silahkan dapatkan buku2 terbaru terbitan tahun 2015. Dan dapatkan diskonnya.
http://goo.gl/muzD8w
Silahkan kunjungi balik dan tinggalkan jejak alias komentar.
-Hon Book Store-
Huhuhuhu jadi terenyuh baca ini.. nurul, keren! :) insyaAllah teteh jg jadi pengen :)
@TehSri: Makasih, Teh. Doakan tetap istiqomah, ya. :)
Posting Komentar