Seringkali saya
tergoda dengan pesona negeri seberang. Berkali-kali bayangan akan kemegahan
kota-kota di antah berantah itu datang dengan menggiurkan. Sering saya
membayangkan menyentuh kejayaan itu dari dekat dengan tangan sendiri, mengagumi
bangunan asing, dan menapaki jalan-jalan
yang tak pernah saya jamah sebelumnya. Sering pula saya angankan seakan salju
turun di ubun-ubun saya dan membuat saya kedinginan. Hal yang tentu tak bisa
saya rasakan di tanah kelahiran. Sejak sekolah dasar, saya mengangankan hijrah
ke negeri Paman Sam. Adapun penyebabnya, kala itu saya menggandrungi serial
tivi, Power Rangers. Beranjak remaja, saya menginginkan pula pindah ke Negeri
Sakura. Tak lain, karena saya begitu keranjingan budaya populer Jepang. Impian
untuk meninggalkan tanah air agaknya telah tumbuh sejak lama bahkan hingga
beberapa waktu sekarang. Namun, kali ini semuanya seakan tidak begitu kentara.
Tak perlu lagi rasanya mengelilingi dunia sebab semua kebahagiaan saya kini
begitu jelas bahkan di depan mata saya sendiri.
Sekolah Rakyat Frekuensi, tampak atas |
Gagal keluar
Beberapa kali saya
mencoba mengirimkan persyaratan untuk mengikuti beasiswa atau seminar di luar
negeri. Namun, beberapa kali pula saya menerima penolakan. Terakhir, saya
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh National University of Singapore
dan Ewha Womans University Korea. Besar sekali harapan saya untuk bisa ikut
serta dalam kegiatan yang diselenggarakan itu. Lantas, kesempatan itu masih
juga kandas. Saya berbincang dengan rekan-rekan saya, Kang Agis misalnya.
Beliau seakan membesarkan hati saya, katanya, "Baru beberapa kali
(ditolak) ini. Saya mah sudah sering.
Tenang saja.".Ya, saya tahu betul usaha beliau demi meraih mimpi studi di
luar negeri itu begitu keras. Di saat seperti itu saya sadar bahwa ada yang
berusaha lebih keras dari saya.
Perbincangan saya
dengan Esti lain lagi. Kali ini, saya seakan dibesarkan hatinya sekaligus
ditampar pelan-pelan. Saat itu, ia berkata "Kamu masih dibutuhkan di
Indonesia."
Sejujurnya, seketika
itu juga saya merenung dalam-dalam. Apakah keinginan saya untuk hijrah ke
negeri-negeri seberang adalah semata niat yang berasal dari kedalaman jiwa atau
hanya mengejar gengsi? Telah seberapa bermanfaat saya untuk tanah air sendiri lantas
berani-beraninya saya lari ke negeri orang? Atau, sebenarnya saya lupa bahwa
semua yang saya cari sejatinya ada di tanah air sendiri.
Pemandangan saat memasuki gerbang Desa Dampit, Keca. Cicalengka |
Kebahagiaan dan cara
pandang
Ya. Barangkali,
intinya, saya telah benar-benar keliru menakar kebahagiaan dari hal-hal besar
dan mewah padahal hal besar dan mewah itu pun dibangun dari hal-hal sederhana.
Pada akhirnya saya sadar bahwa kebahagiaan itu telah kentara di depan mata saya
sendiri, dengan begitu istimewa. Yang kurang tepat selama ini rupanya perkara
sudut pandang.
Pertemuan (kembali)
saya dengan rekan-rekan LSM Frekuensi membuka mata saya bahwa saya beruntung
berada di tengah orang-orang berhati mulia. Pada gilirannya, mereka adalah
rumah yang lebar membuka pintu saat saya pulang dengan jiwa compang-camping
dari pengabdian di kota yang hiruk-pikuk. Begitu pula saat saya mengajar di
Sekolah Rakyat. Setahun mengajar di sana, saya merasa seperti menjadi batu yang
menerus ditempa hingga perlahan melunak. Perjalanan saya di atas tunggangan
(baca: ojek menuju Sekolah Rakyat) setiap pagi menyadarkan saya bahwa saya
berada di tanah yang kaya jiwa dan raganya. Setiap orang yang saya temui pun
(mamang tukang ojek, pedagang, petani, pemilik warung, warga dan orang tua
siswa) menampakkan besarnya ketulusan dan keluhuran hati. Terlebih, saat berada
di kelas, saya seperti berada di tengah-tengah mimpi dan harapan besar tentang
masa depan yang menjelma para siswa itu. Lalu para pendidik itu, kepala sekolah
-walaupun Agus menolak disebut demikian- dan para guru di sana adalah orang-orang
besar dengan jiwa yang lebih besar dan lapang. Hal-hal itulah, rupanya,
senyata-nyatanya kebahagiaan.
Sungai yang memisahkan Kab. Bandung dan Kab. Sumedang |
Baiklah, sedikit
saya kisahkan pula kebahagiaan sederhana yang datang dari kelas. Kala itu, saya
melaksanakan ulangan praktek Bahasa Inggris di kelas tiga. Saya meminta siswa
untuk membuat percakapan dan memperagakannya di depan kelas tanpa melihat teks sama
sekali. Awalnya, semua siswa keberatan. Kebanyakan di antara mereka merasa
tidak mampu. Terutama Ahmad. Ahmad berkali-kali meminta saya agar ia
diperbolehkan tampil sambil membaca teks. Saya bersiteguh bahwa semua siswa
harus tampil tanpa melihat teks. Saya lantas meminta Iwa, rekan sebangku ahmad,
untuk mengajari Ahmad pelan-pelan. Saya tak mau membuat Ahmad dikucilkan dengan
keinginannya itu. Saya pun ingin teman-temannya, dalam hal ini Iwa, mau
menolong kesulitan belajar Ahmad. Saat akhirnya siswa demi siswa tampil,
tibalah giliran Ahmad dan Iwa. Terkejut saya saat itu sebab Ahmad berhasil
menghapal dialog dengan baik bahkan sangat ekspresif. Semua rekannya di kelas
bertepuk tangan. Saat itu, saya merasa memberikan tepuk tangan paling keras untuk
pencapaian Ahmad. Pernah pula saya mengajak Dede Lulu Ludimal, Dadi Ahmad Zaki
dan Aulia ke sebuah pelatihan menulis puisi. Di akhir pelatihan, semua peserta
membacakan puisinya, termasuk Dede. Semua peserta terdiri atas pegiat komunitas
yang rata-rata seusia dengan saya maka Dede, Dadi dan Aulia adalah peserta
termuda kala itu. Saat Dede membacakan puisinya, semua peserta terpukau sebab
diksi yang dia pilih begitu indah. Gerimis hati saya. Rupanya, sesederhana itu
pulalah kebahagiaan. Maka, apa yang lantas saya kejar jika semua telah hadir di
depan mata saya? Semangat, kasih sayang, harapan, hidup, ketulusan dan
cinta.
Siswa kami, Ahmad Wahyudin |
Ah, di atas berulang
saya menyebut kata "sederhana". Dalam "Hujan Bulan Juni",
Sapardi berkata, aku ingin mencintaimu dengan
sederhana seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu pada api yang
menjadikannya abu. Maka lihatlah, "sederhana" yang diungkap
Sapardi sejatinya telah melampaui hal-hal yang teramat rumit dan tak biasa.
Kesederhanaan cinta sang kayu pada api yang menjadikannya abu adalah kerja yang
sejatinya sempurna dan ikhlas. "Simplex veri sigillum", kata petuah
Yunani. Kesederhanaan pangkal kebijaksanaan. Oleh karenanya, berada di tempat
sesederhana ini justru membuat saya merasa lengkap karena saya dikelilingi
berlimpah kebijaksanaan.
Suasana belajar di kelas IX |
Sebagai penutup,
berikut saya sertakan video klip Gita Gutawa berjudul "Tak Perlu Keliling
Dunia". Lagu ini terasa begitu pas dengan segala hal yang saya pikirkan
dan saya rasakan. Saya sertakan video dengan lirik untuk memudahkan
teman-teman yang rasa-rasanya pernah mendengar soundtrack Laskar Pelangi ini
tapi tak fasih pada liriknya. Baiklah, mari bernyanyi bersama saya!
Oh, maaf. Maksud
saya, bersama Gita Gutawa. :)
*) sumber foto diambil dari video tayangan Lentera Indonesia Net TV edisi "Sekolah Rakyat Cicalengka"
Kapur putih yang pucat
Terasa penuh warna
Dan pelangi yang enggan datang pun berbinar
Kertas putih yang pudar
Tertulis seribu kata
Dan kuungkap semua yang sedang kurasa
Dengarkanlah kata hatiku
Bahwa kuingin untuk tetap di sini
Tak perlulah aku keliling dunia
Biarkan ku di sini
Tak perlulah aku keliling dunia
Karna ku tak mau jauh
Darimu
Dunia boleh tertawa
Melihatku bahagia
Walau di tempat yang kau anggap tak biasa
Biarkanlah aku bernyanyi
Berlari berputar menari di sini
(Tak perlulah aku keliling dunia)
Tak perlulah aku keliling dunia
Karna kau di sini
Tak perlulah aku keliling dunia
Kaulah segalanya bagiku
Di duniaaa...
7 komentar:
Salam dari desa untuk dunia Bu.. mantap bin keren deh
Hehe. hatur nuhun, Juragan! Amin. Semoga dari tempat sederhana ini lahir para pemimpin dunia. :)
Tahukah? Saya termasuk orang yang sangat iri karena tidak terlibat dalam proyek semesta ini.
Betul sekali, mungkin mimpi kita semua untuk keliling dunia dan meninggalkan negeri sendiri yang penuh derita ini adalah perasaan wajar setiap manusia yang ingin merasakan standar hidup yang lebih baik, tapi sejatinya kita lebih bermanfaat dan hidup kita lebih berarti ditengah masyarakat yang penuh derita. Saya jadi ingat seorang warga negara Jerman atau Kanada ya..yang meninggalkan negaranya karena bosan dengan kemapanan dan memilih tinggal di Lombok untuk bisa membantu anak-anak di sana. Salut Mba. Kebahagiaan itu kita yang tentukan standarnya
hii.. kereenn.. btw tampilanannya.blm mobile friendly teh...ini sy buka pk hape :)
Masyaa Allah, diberikan kesempatan untuk berbagi dan bermanfaat untuk sesama itu adalah anugerah, Mba.
Insyaa Allah berkah.
Mbak Titi: Iya, manusia selalu merasa tak pernah cukup. Barulah ketika ditunjukkan sesuatu yang tak seberuntung dia, ia sadar. Itu yang terjadi pada saya. :) #NoteToMySelf
Tetty: Okesiap. 86! Nuhun pisan masukannya.
Mba Ahliah: Terima kasih banyak. Mohon doanya semoga istiqomah.
Posting Komentar