12 Februari 2019

Menghardik Manusia (bagian 2)

Siswa itu dengan berang menyerang gurunya. Ia busungkan dadanya menantang sang guru. Beberapa kali ia membentak lelaki paruh baya itu karena telah menegurnya saat merokok di dalam kelas. Ia merasa tak terkalahkan dan sungguh berkuasa. Tak segan, ia pun mencekik sang guru. Sang guru geming, tak ada perlawanan berarti tampak darinya.  

Bagaimana perasaanmu melihat kejadian seperti yang saya ilustrasikan di atas? Itu adalah peristiwa nyata yang viral di media sosial belakangan ini. Bukan sekali! Kejadian serupa itu telah berulang terjadi bahkan hingga nyawa sang guru terenggut di tangan muridnya sendiri. Masih terbayang pula dalam ingatan saya, kasus seorang guru yang dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid karena menegur anaknya, muridnya sendiri. 
Mengapa harus sampai terjadi begini memilukan?

Alasan sang guru tidak berani memberi tindakan atas perlakukan kurang ajar muridnya adalah karena takut berurusan dengan hukum yang selalu menjerat kaumnya. Sungguh, seharusnya hal ini tidak perlu terjadi demikian. Pendidik memiliki hak untuk menegakkan moral siswanya. Caranya tentu beragam. Dan saya yakin, setiap bentuk teguran telah guru perhitungkan dengan matang. Dalam blognya (tulisannya bisa di baca di sini), kawan saya Indah Mustika Santhi lebih banyak menjelaskan bagaimana seharusnya kejadian seperti ini disikapi, bagaimana posisi murid dalam undang-undang dan bagaimana sebenarnya posisi guru dalam hukum yang melindunginya. Yang hilang barangkali adalah pengetahuan serta kesadaran banyak pihak terhadap peraturan itu. Oleh sebab itu, saya kira, guru tak perlu gentar memberi tindakan selama tindakan itu bermaksud baik bagi murid. Berani karena benar!

Sungguh, mendidik adalah sebuah tugas mulia yang semestinya mendapat dukungan dari semua pihak. Bukan hanya guru melainkan juga masyarakat luas, orang tua, bahkan murid itu sendiri. Murid?Ya, tentu saja. Terkait hal ini, saya sepakat dengan  ujaran Agus Akmaludin bahwa keberkahan, manfaat, serta kebaikan ilmu akan hilang jika rasa hormat seorang murid terhadap gurunya pun hilang. Ini yang lebih saya takutkan terjadi di masa depan. Apa yang akan terjadi jika kelak manusia-manusia ini muncul sebagai bibit kezaliman di muka bumi atau hidup tersesat tanpa arah sebab sedari muda tak pernah menaruh sedikit pun hormat kepada gurunya sendiri.

Intinya, menurut saya, kekerasan manusia terhadap manusia (siapapun dan berapapun usianya) tak lantas membuat manusia itu menjadi lebih terhormat di antara sesamanya. Sebaliknya, hal itu justru menegaskan bahwa ia adalah makhluk yang demikian rendah dibandingkan dengan semua makhluk Tuhan lainnya. Pada poin ini, saya sungguh ingin kembali menghardik sesama saya, manusia. 


Semoga kita selalu Tuhan jauhkan dari niat melakukan tindak kekerasan. Semoga Tuhan menguatkan diri kita untuk tegak berdiri atau lantang bersuara dan menjadi pelindung bagi yang sepatutnya dilindungi dari tindak kekerasan. 

Teakhir, cobalah baca tulisan saya terdahulu mengenai kekerasan yang dilakukan manusia terhadap binatang (baca di sini). Lalu, sandingkan dengan tulisan saya tentang kekerasan manusia terhadap sesama manusia ini. 

Bagaimana  perasaanmu? 


0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.