*Catatan: tulisan agak (terlihat) serius. Ditulis karena sedang rajin :D
Oh iya. Tulisan ini pun mengandung spoiler. Harap maklum :)
Ini adalah kali kedua saya meononton film di gelaran Bulan Film Nasional dari Indie Cinema Club Bandung. Berdasarkan pengalaman menonton film "Petualangan Menangkap Petir" Kamis (21/3/2019) lalu, saya sempat sangsi jika jumlah penonton film hari itu banyak. Saat menonton "Petualangan Menangkap Petir", jumlah penonton hanya tiga orang. Saya dan dua teman saya, Dyah dan Teh Anis. Berkaca dari pengalaman itu, saya agak cemas. Ya, saya 'kan awkward kalau ternyata yang menonton hanya dua orang. Haha. Syukurlah, hari itu, Senin (25/3/2019) penonton cukup banyak. Enam orang. Okesip.
Sebelum film diputar, ditampilkanlah beberapa trailer film yang tidak secara komersial diputar di bioskop. Perhatian saya tertuju pada trailer film “Setan Jawa”. Film itu adalah film garapan Garin Nugroho yang tayang terbatas tahun 2016. Tidak ada dialog dalam film tersebut. Ya, film itu adalah film bisu yang hanya diiringi permainan gamelan. Selain itu, film ditampilkan hitam putih. Melihat trailer tersebut, sedikitnya saya seakan diberi petunjuk bahwa film yang akan saya tonton pun punya rasa yang sama. Ini adalah film idealis Garin Nugroho. Lebih tepatnya, proyek eksperimental kedua setelah film “Setan Jawa”.
Film pun dimulai. Di awal film, penonton disuguhkan dengan latar teras sebuah rumah joglo dan lukisan ratu Belanda di atas pintu kamar utama. Hal ini seakan menjadi petunjuk yang akan ditawarkan dalam film mengenai saling singgung dua budaya yang berbeda dalam hal ini Jawa dan Belanda. Betul saja hal tersebut tampak saat sang Nyai sedang mempersiapkan sejumlah hiburan untuk acara ulang tahun suaminya. Suaminya adalah seorang Belanda yang telah sekian lama sakit-sakitan. Bergantian tamu demi tamu datang untuk menghibur Meneer Willem. Hiburan pertama datang dari rombongan keroncong. Ketika asyik bersenandung, tiba-tiba dari luar warga melempari batu sambil berteriak “Kafir!”. Rombongan pun bubar. Tamu selanjutnya adalah seorang kyai bersama beberapa muridnya. Ia berencana melaksanakan pengajian di rumah sang Nyai sambil menampilkan tarian khas Turki. Saat sedang khusyuk melantunkan nyanyian dan puji-pujian, sang Meneer muncul dan berteriak-teriak. Rombongan kembali bubar. Dari sini saya menangkap bahwa dua budaya yang tampil dalam film ini bukan hanya saling singgung melainkan juga saling tarik.
Nyai Memandang Dirinya Sendiri
Sepanjang film, penonton seakan dikenalkan pada cara pandang tokoh Nyai menyikapi dunia antara yang ia hadapi itu. Setidaknya ada dua cara pandang yang saya tangkap. Cara pandang Nyai terhadap dirinya sendiri dan cara pandang Nyai terhadap orang lain.
Seiring berjalannya cerita, dialog demi dialog kemudian menjelaskan jejak kehidupan Nyai yang ternyata dijual oleh ayahnya sendiri kepada Meneer Willem agar ayahnya dapat naik pangkat. Menyikapi hal tersebut, Nyai tak lantas pasrah. Ia kemudian bertekad menjadikan dirinya sendiri sebagai “barang dagangan yang mahal”. Ambisi tersebut tampak dari wawasan luas, daya kritis mumpuni, sampai pembawaan blak-blakan khas budaya Eropa. Caranya memandang diri sendiri sebagai “barang dagangan yang paling mahal” tersebut memengaruhi caranya menghadapi permasalahan yang datangdengan tegar. Masalah yang Nyai hadapi yakni status hukum putri semata wayangnya dengan Meneer Willem, upah buruh pekerja pabrik gula, hingga kepemilikan aset yang diklaim Belanda.
Masalah-masalah yang dihadapi Nyai sangat mengingatkan saya pada konflik yang dialami Nyai Ontosoroh di buku “Bumi Manusia”. Tak salah, film ini memang mengadaptasi bebrapa novel seperti “Nyai Isah” (1904) karya F. Wiggers; “Seitang Koening” (1906) karya R.M. Tirto Adhisoerjo ; “Boenga Roos dari Tjikembang” (1927) karya Kwee Tek Hoay; “Nyai Dasima” (1960) karya S.M Ardan dan tentu saja “Bumi Manusia” (1980) karya Pramoedya Ananta Toer. Kisah Nyai Ontosoroh dari "Bumi Manusia" rupanya menjadi kerangka utama dari film ini
Nyai Memandang Orang Lain
Berbeda dengan caranya memandang diri sendiri sebagai barang dagangan paling mahal, Nyai memandang orang lain dengan cukup tajam. Setiap kali rekan Belanda Meneer Willem atau bahkan Meneer Willem berhadapan dengan Nyai, tokoh Nyai ditampilkan berdiri seakan menantang lawan bicaranya. Kemudian, saat berhadapan dengan tokoh-tokoh pribumi seperti rombongan kesenian dan kyai tokoh Nyai ditampilkan duduk di atas kursi ssementara tamunya duduk di lantai. Agaknya, hal ini menyiratkan kedudukan dan kekuatan tokoh Nyai. Tokoh Nyai kini memiliki kedudukan yang sama dengan Belanda dan setingkat lebih tinggi dibandingkan pribumi. Nyai digambarkan memiliki kekuatan untuk berani melawan Belanda yang semena-mena dan juga menguasai pribumi yang telah membuangnya. Yang menarik justru muncul saat tokoh Nyai berhadapan dengan tokoh Sastro, seorang novelis yang telah lama berkirim surat dengannya selama tiga tahun. Sastro seorang pribumi yang berwawasan Eropa. Nyai dan Sastro dikisahkan kopdar
Secara keseluruhan, film ini cukup menggambarkan tokoh Nyai dan konflik yang terjadi. Karena ditampilkan di satu latar saja, menurut saya dinamika karakter tokoh tak begitu tergambar. Penonton disuguhkan tokoh Nyai yagn sudah sangat tegar dan kuat namun tidak digambarkan prosesnya. Adapun penjelasan tenang itu secara keseluruhan dipaparkan dengan cara tell don’t show yakni diutarakn oleh tokoh lewat monolog. Meski demikian, film ini pun menyuguhkan cara baru menyajikan tayangan dengan rasa teater. :)
Film pun berakhir, saya lapar dan ingin mencari sesuap bebek goreng yang enak di Dipati Ukur. :D
*Tulisan ini kok terasa seperti tugas matakuliah Kajian Sinema Pak Acep Iwan Saidi? Baiklah, mungkin saya kangen belajar semiotika.
**Berikut ini trailer film "Nyai" dari youtube Taipei Film Festival
x
0 komentar:
Posting Komentar