"Kamu gak ngerti kan perasaanku?"
Katamu secara tiba-tiba setelah panjang lebar menceritakan kepiluan yang kau alami itu. Kau mengusap air mata yang sedari tadi tak bisa kau tahan mengalir di pipimu. Makan siang di waktu rehat kantor itu seketika menjadi sendu.
Aku menawarkan tisu ke arahmu sambil lekat-lekat menatap matamu. Kutarik napas panjang mencoba menenangkan segenap perasaan yang tak karuan di antara kita. Sebagai sahabatmu, aku pun sungguh-sungguh ikut luka saat kau begini duka. Tapi rasanya aku pun telah berhasil kau buat bersalah saat kau bilang aku tak paham yang kau rasakan. Hal itu juga sesungguhnya membuat aku tak nyaman.
"Hidup kamu tuh enak, Sil. Kamu gak akan merasakan susahnya bersepakat dengan saudaramu sendiri, susahnya memenuhi fasilitas, bahkan susahnya cari makan setiap hari kayak aku.". Lagi-lagi kamu katakan itu seperti setiap kali kau mengisahkan kisah pilu. Kali ini tentang pertengkaran hebat antara kamu dan adikmu. Aku sudah berulang menyimak cerita tentang kerapuhan keluargamu. Atau, tentang perlakuan rekan kerja yang suka sikut-sikutan itu. Namun kurasa kali ini berbeda. Mendengar ujaran dalam tangismu kala itu membuatku tak mampu berkata banyak lagi.
"Sil, kamu dengerin aku kan?" Tegasmu. Kali ini entah mengapa aku tak bisa menerima pernuataanmu.
"Iya, Alina. Ehm, aku mau ninta maaf, nih." aku memberanikan diri membuka obrolan lagi setelah sekian waktu kau biarkan aku seperti tergantung di udara bersama semua tuduhanmu.
"Begini, Lin. Aku memang tak sepenuhnya ada di posisimu dan tak sepenuhnya pula mengalami apa yang kamu rasakan. Meski mungkin ada kesamaan antara hal yang kau alami itu, aku tak persis mengalami detail episode kehidupanmu itu. Jadi, maaf kalau aku tak seluruhnya paham apa yang kamu rasakan. Maaf jika aku tak benar-benar mengerti setiap jengkal langkah yang kau tapaki itu. Atau, aku tak benar-benar menghayati tiap detik waktu yang kau lewati itu. Tapi, mungkin kamu pun gak tahu kan hal-hal berat yang sudah aku alami kan?"
Kau menatapku lekat. Aku tahu, ada banyak hal dalam benakmu yang ingin kau katakan terkait ucapanku ini. Namun kali ini, kau biarkan aku selesaikan perkataanku.
"Kenapa kamu malah jadi bikin aku makin sedih sih, Sil?"
"Tolong terima dulu bahwa aku punya banyak hal yang berbeda denganmu dan hal itu sendiri tak bisa aku ubah apalagi aku kendalikan. Bisa, kan, Lin?" aku memohon.
Kau membenarkan posisi dudukmu yang rasanya mulai tak nyaman. Aku tak persis tahu, mungkin sebenarnya hatimu yang kini mulai makin tak nyaman. "Kamu marah ya, Sil? Aku tak pernah ingin mencari masalah denganmu. Kamu selalu ada buat aku terutama di saat aku sedih dan bingung harus berbuat apa. Aku senang kamu membantuku seperti itu."katamu.
"Tapi, Lin, bagaimana aku bisa sepenuhnya membantumu jika kamu sendiri menolak membuka diri atas keberadaanku?"
"Aku terbuka dengan solusimu kok, Sil"
"Nyatanya enggak sih, Lin. Sekali lagi. Kumohon, pertama-tama, berhentilah melulu mempermasalahkan keadaan temanmu yang memang berbeda. Hal itu sama sekali tak membantu, Lin." Kamu terhenyak.
"Aku terbuka dengan solusimu kok, Sil"
"Nyatanya enggak sih, Lin. Sekali lagi. Kumohon, pertama-tama, berhentilah melulu mempermasalahkan keadaan temanmu yang memang berbeda. Hal itu sama sekali tak membantu, Lin." Kamu terhenyak.
"Aku senang membantu teman. Tapi kumohon jangan sudutkan aku hanya karena keaadanku tak persis sama denganmu. Mungkin setelah kamu melakukan itu kamu merasa lebih baik. Tapi tidak denganku. Kamu mungkin hanya tidak tahu sepahit apa hari-hari yang aku lewati"
Matamu kini mulai berkaca-kaca. Sesungguhnya aku tak tega mengatakan hal itu kepadamu. Tapi, akan lebih menyedihkan jika ternyata kita saling menyakiti diam-diam begini.
"Aku gak bermaksud begitu kok, Sil. Aku cuma kelewat sedih dengan keadaanku. Aku merasa terpuruk, Sil." tangismu pecah lagi. Kali ini karena aku. Lekas aku mendekatimu dan erat memelukmu.
"Maaf ya, Lin. Aku pun tak bermaksud buruk. Bagaimana pun, aku tetap tak bisa membiarkan kamu sendirian saat sedih. Tapi banyak hal di luar dirimu yang perlu pula kau tengok dan hayati selain hanya kamu. Kamu benar-benar gak sendirian memikul beban itu"
"Aku minta maaf, ya, Sil." balasan singkat sambil terus terisak.
Siang itu, mata kita basah oleh air mata. Aku sungguh dimakan rasa bersalah. Ah, hari esok harus tetap kita lalui, Lin. Semoga kita bisa terus tumbuh jadi manusia yang lebih kuat hari demi hari.
.
0 komentar:
Posting Komentar