05 Juli 2019

Cerita dari Kebun


*Sebuah catatan di Kamis pertama bulan Juli (yang diposting hari Jumat dini hari). Yeay~


Sesekali, ternyata, melihat ke belakang membuat kita sadar telah demikian jauh langkah yang telah kita tempuh. Meski perlahan dan dengan langkah yang kecil itu, ternyata banyak hal yang telah kita capai. Lalu, di titik ini, kita bisa merasa cukup dan bersyukur. 

Memang, apa yang sedang saya tengok ke belakang? Tak lain, kebun saya. Hehe. Sore itu, seperti biasa, saya menyiram tanaman-tanaman di kebun baik tanaman di rak semai, tanaman yang digantung, atau yang saya tanam di tanah. Setelah selesai, biasanya, saya amati sekeliling sambil memikirkan tanaman lain yang memungkinkan ditanam lagi, merencanakan pindah tanam tanaman yang sudah ada, atau mendesain kebun. Tapi sore ini berbeda. Saya termenung dan melihat halaman rumah saya sudah cukup dipenuhi tanaman. Sangat berbeda dengan tahun-tahun lalu sejak pertama saya pindah ke rumah ini. Ah, ternyata sudah sejauh ini langkah yang saya pijak. :')


Saya ingat betul, November 2018 saya mulai belajar menanam setelah tanaman melon tiba-tiba berhasil tumbuh di halaman. Saya punya kebiasaan memisahkan sampah organik dengan sampah lainnya, memang. Sampah organik yang berasal dari dapur itu saya tempatkan di halaman belakang dekat pintu dapur. Karena hanya dikubur begitu saja, tak jarang terdapat tanaman yang tumbuh bahkan hingga berbuah seperti sang melon tadi. Saat itu, saya terkejut bahagia saat menemukannya tiba-tiba berbuah begitu. Ibarat mendapatkan hadiah tak terduga dari alam semesta! Hehe. Dari sana, saya jadi tertarik untuk mulai mengolah tanah dan bercocok tanam. Saya mulai bersihkan halaman depan dan belakang, memindahkan genting dan kayu sisa renovasi rumah, memotong rumput liar, dan mulai mencangkul tanah. Karena dilakukan sendirian, sehabis kegiatan itu saya merasa perkasa seperti Xena The Warrior Princess. XD



Di yang bersamaan, ternyata Dyah, Laila, dan Teh Anis juga sedang giat berkebun. Terbersit ide untuk mengganti kepanjangan FLP dari Forum Lingkar Pena menjadi Forum Lingkar Pekebun cabang Turangga-Dago-Cicalengka. Haha. Bersama mereka, saya sering bertukar informasi seputar tanaman bahkan sering diajak ikut seminar urban farming (padahal saya kan rural farmer :p).

Tanaman yang pertama kali saya coba tanam saat itu adalah tanaman pangan seperti bayam hijau, bayam merah, seledri, dan bawang merah. Bayam hijau dan merah tumbuh dengan baik. Untuk pemula seperti saya, menanam bayam adalah pilihan tepat karena mudah tumbuh dan tak sulit perawatannya. Kamu juga bisa coba. Bagaimana dengan seledri dan bawang merah? Gagal tumbuh. Haha. Mungkin karena kondisi tanah atau apa ya? Saya juga kurang paham. Ya, tak apa namanya juga belajar. Akan ada gagalnya. Terpenting, jangan berhenti belajar, bukan? 

Ragam tanaman lain yang kemudian saya coba tanam seperti cabe rawit, leunca, jeruk, dan tomat. Ketahuilah bahwa bibit-bibit tanaman ini bukan saya beli di toko bibit seperti yang saya lakukan pada bayam, seledri, dan bawang melainkan saya peroleh dari tetangga saya. Setelah mengetahui saya gemar bercocok tanam, tetangga dekat rumah dengan sukarela memberikan bibit yang mereka punya di halamannya untuk saya tanam. Sebagai ucapan terima kasih, saya pun memberikan bibit tanaman yang saya punya untuk mereka. Wow barter! ini adalah hal membahagiakan yang saya dapat saat pertama kali bercocok tanam. Ada aspek sosial yang kemudian dibangun. Eh, atau ini karena wajah saya ini wajah béréeun. Maksudnya, wajah yang mengundang rasa watir dan jadi ingin sodakoh. Beda tipis ya. Wkwk. 

Hal membahagiakan lain terjadi saat saya menanam tanaman rempah dan obat seperti kemangi, lidah buaya, binahong, rosela, kumis kucing, mint, dan kunyit. Kemangi dan lidah buaya tumbuh subur di halaman saya. Sering tetangga saya datang ke rumah untuk meminta kemangi atau lidah buaya untuk beragam keperluan. Senang sekali jika bisa bermanfaat begitu. Saya jadi ingat cerita Dyah tentang Ustaz Fuad Affandi yang membangun sebuah pesantren berbasis agribisnis di daerah Ciburial. Jelas, saya belum bisa membangun usaha sosial semacam itu. Terpikir jauh ke arah ekonomi saja belum walaupun barangkali bisa saja jika diniatkan untuk usaha. Namun demikian, saat ini saya mencoba menawarkan halaman yang penuh kemangi dan lidah buaya untuk bisa dimanfaatkan siapa saja. Semoga esensinya sama, menebar kebaikan. 


Selain tanaman pangan, saya pun menanam tanaman hias. Aster, mawar, pacar air, kenikir, dan tanaman (entah apa itu namanya) yang saya simpan di pot gantung. Yang ini alasannya tak lain karena saya mager. Hehe. Tanaman hias ternyata lebih mudah perawatannya daripada tanaman pangan. Selain itu, tanaman jenis ini cukup efektif membuat halaman rumah saya lebih asri. 

Di luar kebun 
Belajar berkebun ternyata bukan sekadar belajar menanam bibit tanaman hingga berbuah atau berbunga melainkan juga belajar memahami tanah, air, cahaya, dan daur hidup. Setelah belajar menanam, ada kebutuhan khusus untuk lanjut mengenal kompos dan eco enzyme. Selain itu, juga belajar membuat vertical garden dan memanfaatkan sampah plastik sebagai wadah tanam.  Semuanya berkelindan dengan diri saya dan jadi bagian-bagian yang tak terpisahkan. Jika ingin membuat kompos atau eco enzyme dengan baik maka saya harus punya stok sampah organik yang cukup. Artinya, saya harus juga rajin mengkonsumsi sayur dan buah setiap hari. Jika ingin membuat vertical garden dari botol air mineral bekas maka saya harus mau mendaur ulang sampah plastik itu. Artinya juga, harus bijak menggunakan produk berbahan plastik. Jika ingin mengerjakan semuanya dengan baik, maka secara fisik, saya harus bugar dan prima. Artinya, harus rajin angkut semen dan batu bata. Maksudnya, olahraga. Haha. Semuanya berkaitan dengan pola hidup saya, pada akhirnya. Saya sebut ini lingkaran kebaikan. 

Setahun berkebun 
November nanti jadi penanda sudah 1 tahun saya belajar berkebun! Sukseskah perjalanannya sejauh ini? Dalam ukuran saya, ini cukup sukses. Saya paham dan sadar betul keterbatasan diri saya mengolah kebun; tangan saya hanya dua, tenaga saya jelas terbatas, dan kemalasan masih belum bisa ditaklukkan. Duh. Namun banyak hal yang telah dilakukan. Hal tersebut tampak dari perbedaan rupa halaman rumah saya saat ini dan dahulu kala. Selain itu, walau saya mengakui saya pekebun yang moody, nyatanya saya tak berhenti menekuni kegiatan ini sampai sekarang. Oleh sebab itu, tentu, untuk ukuran saya, masa bercocok tanam selama hampir setahun ini cukuplah memuaskan. 


Tentu masih banyak kekurangan tapi tak apa, terus belajar dengan sabar. Memang akan pelan perjalanannya tapi, sekali lagi, saat ini saya belum ingin berhenti. Saya masih ingin melihat halaman saya jadi kebun yang rimbun dan hijau. Saya membayangkan lama-kelamaan, saking rimbunnya, halaman rumah saya jadi "leuweung" dengan banyak tanaman yang bermanfaat. Wah! Bukankah itu hal menarik sebab berarti saya menyukseskan program pemerintah yaitu swasembada pangan? Hehe. Semoga di masa depan saya masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk terus bercocok tanam dan membuat "hutan". Atau, saya bisa ngebon di Selandia Baru seperti Rara Sekar dan Ben Laksana (tetep ya!). Terpenting, pencapaian saya sampai saat ini pun adalah hal yang sangat pantas untuk disyukuri untuk kemudian dibenahi di kemudian hari.

Ya, kalem lah. Pelan-pelan saja. :) 

"Sedikit demi sedikit lama-lama jadi hutan rimba" (Sisilia, 2019) 





0 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Perkenalkan! Saya Nurul Maria Sisilia. Seorang pengajar, penulis, dan pekerja sosial. Saya senang menulis hal menarik yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Mari berbincang!

Terjemahkan (Translate)

Rekan

Diberdayakan oleh Blogger.