Gerimis Kamis
Aku merapal setiap katamu yang terucap, membiarkan nafas yang terhela berbaur dengan
desah angin, aku hanya merasakan dingin kala terguyur air yang tumpah disikut anak-anak yang
berlarian di seputar mesjid salman. Atau merasa kotor atas debu yang tertinggal mahasiswa setelah
rapat digelar. Namun engkau datang segera, keberadaanmu menyelimuti pagi, lalu berkawan
dengan hangatnya mentari. Entah apa yang kau tunggu, matamu lekat pada sebuah buku, tanganmu
sibuk menekan handphone yang mungkin baru, adakah sesosok mahluk yang kau rindu? Aku tak
persis tahu..
“Apa yang kamu lihat dari wanita berkerudung merah itu?” tetiba teman disampingku bertanya,
“Menurutmu?” aku balik bertanya,
“Mungkin, karena ia memilihmu?” terkanya, aku menghela, ntahlah, keberadaanmu masih asing
untukku, tapi engkau kini terlanjur memilih aku.
“Bisa jadi, tapi ini kali pertama, ntah kali kedua atau selanjutnya, bahkan belum tentu juga ia datang
di waktu mendatang” ku jawab asal.
“Lalu? Istimewakah? Bukannya sudah banyak wanita sebayanya yang menghampirimu, itu sudah
biasa bukan?” temanku meracau. Ada sebuah rasa penasaran yang menjalar..
“Bisa jadi” lagi-lagi ku jawab asal, sekali lagi, kini aku tak persis tahu, kau orang baru untukku..
Bagaimana mungkin kulupakan saat itu, engkau menemaniku dengan sebuah pena dan
buku, tersenyum lalu menuliskan, aku tak bisa membaca, namun kutahu apa yang dirasa, beberapa
waktu kemudian, jari-jarimu mulai keriting, melepas pena, lalu meraih buku untuk kau lahap dengan
kedua mata bola yang bulat, waktu terus berdetak, berlomba dengan degup yang semakin kencang,
kau lipat buku itu, lalu menutup mata, rehat sejenak. Sebuah getar pesan singkat mengoyak damai,
aku ikut bergetar karena hanphone mu kau taruh persis di atasku.
“Yes, akhirnya! ini jalan keluar yang melegakan” engkau berucap lirih, dan nampak gembira setelah
membaca pesan itu, lalu melepas kacamata, mengusap air mata yang tertahan, lalu tersenyum..aku
tertegun, apa kira yang membuatmu mampak bahagia. Namun saat itu aku ingat sesuatu yang ku
lupa sebelumnya, bahwa ini hari istimewa dalam deretan minggu, yaitu hari “kamis”,
“Kau tahu sesuatu?” teman disampingku kembali mencari tahu..
“Ya, ini hari kamis, kau tahu? Kenapa wanita berkerudung merah itu ada disini?” aku membisikkan
pelan,
“Karena ini hari kamis, waktunya kita memperhatikan gulat sastra, itu alasan ia ada disini, mungkin”
aku antusias dalam menerka keberadaanmu disini, meski sebetulnya aku tak begitu yakin. Namun
semua terjawab jelas kala kedatangan seseorang, engkau tersnyum padanya, lalu bercakap tentang
sastra.
***
Puluhan tahun aku dan ratusan temanku terdiam disini, hidupku keras, karena harus melalui
proses panjang untuk terpilih menjadi bagian dari sebuah bangunan, kami di bariskan dengan pola
yang indah, aku ingin sederhana saja, tak perlu di tempatkan di sebuah bangunan mewah, tapi cukup
bagiku ketika keberadaanku menjadi salah satu sarana untuk manusia beribadah, termasuk untuk
mencari ilmu seperti kamu. Ini tepat tahun ke empat aku menjadi kawan baikmu, engkau mungkin
tak sadar, tapi aku menyetiaimu dalam engkau berproses sebagai “muslim sastrawan” yang kau citacitakan. Lingakaran kamisan ini menjadi bagian terpenting sebagai wujud kepatuhanku pada Tuhan,
pun kamu, yang tengah menjadi pohon rindang dan meneduhkan dengan kesempurnaan sastra yang
mengagumkan..
Di suatu kamis 2013..
Dalam rintikan hujan yang mengantarkan senja, aku menunggu kedatanganmu, engkau
berbeda, ku tahu engkau harus menempuh jalanan panjang untuk sampai duduk sambil menghela
nafas panjang diatasku, sedang kawanmu tak kunjung datang, padahal keberadaan mereka lebih
dekat, tapi inilah yang menjadi ‘nilai lebih’ atas dirimu. Kembali engkau menunggu dalam gemuruh
hati yang tak tahu akan dibawa kemana lingkaran ini selanjutnya.
“ Ku dengar teman baikmu kini menjadi nakhoda dalam lingkaran ini. benarkah?” temanku kembali
mengusik, belakangan memang ku dengar ada yang berubah dalam kehidupanmu, bukan berubah,
lebih tepatnya semakin membulatkan apa yang menjadi tekadmu.
“Ku pikir begitu, lihatlah wajahnya, di sana Nampak kegalauan luar biasa, namun bisa kupastikan, itu
rasa galau yang akan menghentakkan dunia, melumer pekat, lalu menyalakan sinar”
“Amboi nian, sahabatmu itu, sudahkah dia mengabarimu perihal ini?” temanku rupanya
memanasiku, agar aku memberanikan diri menyapamu, tapi bagaimana caranya? Kucukupkan
kesaksianku ini menjadi bisu yang mendamaikanmu. Aku tersenyum, karena rupanya sahabat
karibmu datang kalau itu, sahabat yang akan mendampingimu mengadu galau yang tengah kau
rasakan. Ada mata yang berbinar, lalu kembali menerawang gerimis, lalu tersenyum, Engkau
menyentuhku, dan rebahan bersama kawanmu, bersama memandang gerimis di hari kamis.
Sekali lagi ku katakan, aku akan setia membersamaimu..
Salam Untukmu yang ku tahu bernama Nurul Maria Sisilia
Aku adalah..
“Sekotak keramik manis yang tengah kau duduki dalam lingkaran kamis”
---Terima kasih ya, Sonia Siti Sundari! :)
---Terima kasih ya, Sonia Siti Sundari! :)
1 komentar:
akhirnya bertengger manis di catatan kamis..hhe..*peyuukk..:)
Posting Komentar