Minggu
menjelang Ramadhan biasanya dihabiskan
dengan kegiatan makan bersama. "Munggahan" menurut istilah orang
Sunda. Hal tersebut juga yang melandasi saya dan Dyah melakukan aktivitas
serupa menjelang Ramadhan. Berbeda dengan munggahan biasanya, kami berencana
berpetualang dahulu baru makan bekal masing-masing. Hari ini (25/6), kami
memutuskan berpetualang ke daerah Tegallega. Ada dua tempat menarik di sana.
Museum Sri Baduga dan Lapangan Tegallega. Setelah janjian pukul satu siang di
depan museum, kami memulai penelusuran ke Museum Sri Baduga.
Berlokasi di jalan
BKR no. 185 Bandung, museum ini menyuguhkan sejarah kebudayaan Jawa Barat.
Perjalanan kebudayaan Jawa Barat dari masa prasejarah hingga kontemporer
ditampilkan lewat koleksi-koleksinya. Hal itu tampak dari tata penempatan
benda-benda koleksi dari lantai satu sampai lantai tiga. Di lantai satu, kami
disuguhi sejarah kebudayaan Jawa Barat pada masa prasejarah. Tampak gambaran
mengenai keadaan alam Jawa Barat saat masih berupa danau disajikan dalam bentuk peta. Terdapat pula maket cekungan Bandung yang cukup interaktif di sana. Kami
bisa mengetahui ragam gunung aktif yang mengelilingi Jawa Barat khususnya
Bandung, aliran sungai Citarum dan Cikapundung serta letak sumber mata air Situ
Aksan. Tetiba saya ingat sebuah lirik "Bandung diriung ku gunung…" (Bandung dikelilingi gunung…). Di lantai ini
pula disuguhkan aneka bebatuan yang ditemukan di sekitar Jawa Barat dan aneka
fosil hewan serta tanaman purba. Memasuki ruangan tengah lantai satu, kami
disambut dengan replika gua pawon. Di dalamnya terdapat replika belulang purba
yang dikubur tepat di tengahnya. Di area ini, kami melihat perkembangan
kepercayaan masyarakat Sunda zaman dahulu. Hal ini tampak dari aneka batu yang
dipamerkan. Terdapat beberapa batu yang dibentuk patung dan digunakan sebagai
sarana pemujaan roh leluhur. Patung-patung tersebut menunjukkan sistem
kepercayaan animisme-dinamisme masyarakat pada saat itu. Pada bagian lain, kami
melihat perkembangan kepercayaan tersebut telah terpengaruh Hindu-Budha. Hal
tersebut tampak dari beberapa patung dewa dalam kepercayaan
Hindu-Budha.
Di lantai dua, kami
seperti menelusuri linimasa sebuah zaman di kehidupan masyarakat Sunda saat
didatangi pengaruh Islam dan kolonial.
Di pojok ruangan dekat pintu masuk terdapat penjelasan mengenai Momolo. Momolo
biasanya diletakkan di atas atap tempat yang dianggap suci. Bentuknya berupa
ukiran dengan empat segi dan di setiap segi dibuat meruncing. Pada
perkembangannya, benda ini digantikan dengan kubah di atas masjid. Di bagian
selanjutnya kami melihat sebuah replika bale yang biasa digunakan untuk belajar
mengaji. Saat memasuki ruangan ini, saya dikagetkan dengan patung perempuan
yang sedang mengaji di bale tersebut. Karena kurang fokus, saya mengira
benar-benar ada sosok perempuan duduk di bale. Haha
Di lantai ini pula,
kami menemukan beragam tulisan yang ditulis di atas lontar hingga berbentuk
kitab. Tulisannya pun berkembang dari huruf Pallawa, Arab-Melayu hingga
latin.
Di tengah ruangan
lantai dua, terdapat miniatur rumah tradisional Sunda seperti Julang Ngapak,
Limasan, dan Badak Heuay. Saya rasa ada beberapa kesamaan dalam bentuk ruah
tradisional tersebut yakni pintu belakang. Di setiap jenis rumah, terdapat
pintu yang berada di belakang rumah dan golodog.
Saya kira, pintu itu adalah pintu yang berasal dari pawon (dapur). Menurut saya, jenis rumah semacam ini menawarkan suasana yang hangat bagi penghuninya. Saya jadi kangen rumah saya dahulu. Rumah panggung dengan golodog dan pintu belakang dari pawon. :)
Salah satu jenis rumah adat Sunda. Yang ini apa, ya, namanya? |
Suasana kekinian
tampak di lantai tiga. Kami menyusuri kehidupan masyarakat Sunda pada era
kolonial menuju kontemporer. Di lantai tiga dipamerkan beberapa jenis mata uang
yang berlaku di Priangan sejak awal abad ke-XIX, masa kolonial, hingga masa
kemerdekaan. Terdapat pula penjelasan mengenai kesenian yang berkembang seperi
calung, angklung, wayang golek, hingga sinden. Yang menarik di lantai tiga ini
adalah jajaran gerobak pedagang (lebih tepatnya tanggungan). Ada tanggungan
pedagang rujak beubek, pedagang aromanis, pedagang kerupuk, pedagang bajigur,
pedagang putu, dan pedagang . Heran, kenapa tanggungan tukang siomay disimpan
di sini? Padahal, pedagang siomay yang membawa dagangannya dengan cara
ditanggung di pundak masih bisa ditemui. Apa maksudnya, keberadaan pedagang
tersebut akan lekas hilang ditelan zaman? Entahlah, kami masih bertanya-tanya.
Dan pertanyaan kami makin menggunung saat menemukan sebuah etalase di ujung
ruangan lantai tiga. Di sana terdapat berbagai kaulinan (permainan) tradisional.
Gatrik, ngadu muncang, alat-alat papasakan, ketepel, mamanukan, dam-daman, dan
kaleci. Coba tanyakan kaulinan tadi pada anak-anak masa kini, berapa banyak
yang mereka kenal? Miris ketika saya ingat seorang teman yang mempunyai adik kecil
bercerita bahwa di rumahnya sama sekali tidak ada mainan. Semuanya sudah
tergantikan oleh tablet, ipad, smartphone. Apa hal ini yang menyebabkan kaulinan tersebut mesti dimuseumkan? Hmm…
Setelah keluar museum saya mendapat sebuah pemikiran bahwa...
Bermain
ke museum, mana pun, menurut saya akan selalu menawarkan perasaan berjiwa besar.
Sebagai seorang individu, seseorang sedang berada di dalam alur waktu. Ia bisa
menengok sejarah masa lalu sambil
berharap-harap cemas akan jadi sejarah pula di kemudian hari. Atau, mengutip
kata Pijar, individu itu menyadari bahwa ia adalah bagian dari sebuah sejarah
yang panjang.
:)
1 komentar:
tempat wisata bandung salah satunya museum sri baduga. cocok nih buat liburan
Posting Komentar