Dan aku hanya bisa menawarkan pelukan bagi dalamnya dukamu. Sementara tangis telah lebih dulu menganak sungai dari sudut matamu. Lukamu, segala kenangan yang mengakar hingga pangkal jantung dan cinta yang tak akan tergantikan sesiapa, sempurna membiru pagi itu.
Di titik sepilu itu, aku bersedia ada saat kau begini jatuh, saat semua pergi ini tak pernah kembali, saat semua harap dibatasi mati, saat semua kesempatan menutup dirinya sendiri.
Waktu perlahan berganti seperti seharusnya. Barangkali juga semua duka yang sama-sama kita punya.
(Dipati Ukur, 2019)
"Neng, standar nilainya turunin. Minimal skor jadi 40."
Begitu kira-kira pesan dosen senior saya di WhatsApp kala saya membantu beliau memeriksa UTS kampusnya.
Saya mengalihkan pandang pada satu amplop yang tebal di meja. Amplop itu memuat sekitar lima kelas. Masing-masing kelas, kurang lebih, berisi 40 lembar jawaban mahasiswa. Ya, tinggal dikali saja jumlah total lembar jawaban yang harus saya periksa waktu itu. Banyak!
Kunci jawaban dan panduan penilaian sebenarnya sudah sempurna ada dalam genggaman. Sebagai asdos yang baik dan benar, saya jadi begitu teliti dan tegas dengan jawaban yang saya baca. Meleset sedikit dari kunci jawaban, poin rendah! No excuses pokok na mah. Titik. Saya yakin dosen senior saya tidak keberatan karena beliau juga tipikal orang yang idealis. Hehe.
Ternyata sesuatu terjadi siang itu. Beliau berkabar bahwa tadi baru saja dipanggil koordinator mata kuliah dan diingatkan tentang deadline. Entah apa lagi yang sebenarnya Pak Dos dan Pak Koor bincangkan, tapi selepas itu Pak Dos menghubungi saya dan meminta agar menurunkan standar penilaian. Barangkali ada peringatan juga dari Pak Koor tentang standar nilai. Ya, sebagai asdos yang baik hati dan tidak sombong, jagoan lagipula pintar (Gen Z, kamu gak akan hapal lirik lagu "Catatan Si Boy" ini, saya yakin -_-) saya pun manut.
Akhirnya berkas UTS kampus "Sultan Ciumbuleuit" selesai saya periksa dan kirimkan ke Pak Dos. Setelahnya, saya jadi berpikir. Apa sebenarnya yang kami lakukan? Apakah memang kami yang memasang ekspektasi terlalu tinggi tanpa melihat yang sebenarnya terjadi? Apa kami mematok standar ideal nan sempurna setinggi Kahyangan tanpa terlebih dahulu menganalisis banyak aspek dari mahasiswa? Saya tepatnya, berpikir bahwa yang saya hadapi adalah manusia dewasa yang sudah bisa berpikiran matang atas segala sesuatu, termasuk belajar. Hal itu membuat perlakuan saya pun berbeda dengan yang saya lakukan terhadap anak usia sekolah. Lantas, saya meminta mereka ada dalam standar belajar saya namun ternyata hal itu tidak sepenuhnya tepat. Begitu barangkali ketimpangan ini terjadi. Akibatnya, banyak ditemukan skor indah bernada doremifasol setiap kali ujian.
Apakah sebagai pengajar, ego kami (saya lagi tepatnya) begitu luhur hingga harapan antara pengajar dan kenyataan di kelas tak bertemu?
Saya jadi lanjut merenung dalam, apakah cara mengajar saya pun salah?
Mungkin dari sini saya harus sedikit menurunkan ego dan meningkatkan kualitas mengajar (?).
#catatanAsdos
Berbulan-bulan ini, kamu akhirnya memilih memenuhi jadwal keseharianmu dengan ragam kegiatan yang padat atau, tepatnya, sengaja kau buat padat. Lalu, kamu sendiri yang menikmati peluh itu. Kamu senang saat harus pergi pagi buta dan pulang larut malam, berdesakkan dalam kendaraan umum, dan berlari satu tempat ke tempat lain. Kamu membiarkan kata-kata bertebaran dan semua yang minta diselesaikan mengambil tempat di meja kerjamu, di kamarmu, dan di tiap sudut rumahmu sebab artinya hal-hal itu yang kini kau perbolehkan mengambil alih pikiranmu.
Kamu menikmati lelah yang hinggap di mata, tangan, kaki, dan semua sendimu sebab artinya tak ada lagi celah bagi air mata apalagi ingatan masa silam. Semua kau lakukan agar bisa menikmati akhir pekan dengan dirimu sendiri: tidur seharian seperti mayat hidup atau sekadar menikmati semua film Ghibli lagi.
Biasanya, kau menolak paham pada kenyataan bahwa terdapat manusia yang justru menikmati hidup dalam kesibukan, rutinitas yang menurutmu menjemukan, atau tumpukan pekerjaan yang sungguh gila. Kamu memicingkan mata pada orang-orang yang memilih jalan tak waras menjadi penggila kerja atau workaholic itu. Namun di titik ini akhirnya kamu percaya bahwa kesibukan yang sengaja diciptakan itu pun adalah pelarian dari jeratan duka. Atau, sebuah usaha keras menutup semua kemungkinan kembali terluka di kemudian hari. Atau, suatu upaya menenggelamkan diri biar perasaan pahit dalam dada turut karam dan tak lagi dikenali.
Atau, semuanya.
Upaya menghindar dari kesedihan? Ah, barangkali juga benar. Namun, kamu sadar bahwa hal itu kamu lakukan semata agar kau paham kekuatanmu sendiri. Agar kau lebih fokus berjalan pada kelebihanmu saja, pada hal-hal yang membuatmu bahagia meskipun harus membuat ragamu seperti lepas dari tulang-tulangnya. Sungguh, kamu hanya sedang memasang benteng agar semua keburukan tak semena-mena menghampirimu lagi.
Kamu sudah melakukannya dengan luar biasa!
Jangan lupa makan tepat, minum cukup, istirahat, juga olahraga. Tetap bertahan dalam hidup yang begini rawan pun perlu banyak tenaga.
Terima kasih sudah berjuang.
#ceritakansaja #staystrong
Stasiun Rancaekek |